Minggu, 26 Agustus 2018

Angku Zainal, dimuat di Republika, edisi Minggu, 26 Agustus 2018

Orang-orang kampung Lubuk Kisam menganggap kematian Angku Zainal adalah kematian yang mulia, layaknya kematian seorang syuhada. Bagaimana tidak, lelaki tua itu meninggal saat hendak menyelamatkan kitab suci di masjid yang sedang ganas dilalap api. Orang-orang tak akan bisa melupakan peristiwa menggetarkan malam itu, ketika Angku Zainal melompat ke dalam api raksasa yang berkobar dan kembali dengan sekujur tubuh penuh luka bakar.

“Beliau pasti mati syahid. Beliau berani menukar kitab suci dengan nyawanya,” begitu orang-orang memuji tindakan berani Angku Zainal.

“Ya, tak ada keraguan soal itu,” timpal suara lain berkata dengan nada penuh haru. “Angku Zainal telah mengorbankan dirinya demi agama. Semoga amal perbuatannya diganjar sorga.

Seiring waktu, riwayat Angku Zainal tak hanya semerbak di kampung Lubuk Kisam, melainkan juga sampai ke kampung-kampung tetangga. Bila ada acara maulidan atau memperingati isra miraj nabi di kampung Lubuk Kisam, tak lupa para jamaah mengirim doa untuk kesejahteraannya di alam kubur.

Sebenarnya Angku Zainal hanyalah lelaki biasa. Dari hasil perkawinannya dengan Mak Ainun, ia dikaruniai tiga orang anak. Dua sudah menikah dan hidup di perantauan, sementara yang bungsu masih menjadi tanggungan.

Di masa lalu, jauh sebelum menjadi marbot, sehari-hari Angku Zainal lebih dikenal sebagai dukun patah tulang. Kemampuan yang didapatnya secara turun-temurun itu membuat dirinya kerap didatangi para pasien dari dalam dan luar kampung Lubuk Kisam. Namun entah apa pasalnya, praktik pengobatan itu lambat laun mulai ditinggalkan orang. Orang-orang yang patah tulang, terkilir, ataupun sendi bergeser tak lagi datang ke Angku Zainal. Mereka lebih memilih datang ke puskesmas atau rumah sakit.

Banyak yang bilang, pasien-pasien Angku Zainal meninggalkannya lantaran biaya pengobatan di puskesmas atau rumah sakit telah digratiskan pemerintah. Tetapi dari desas-desus lain yang beredar, alasan sebenarnya adalah karena Angku Zainal mematok tarif di luar batas kewajaran. Hal itulah yang akhirnya membuat orang-orang segan dan sungkan meminta bantuan Angku Zainal.

Kehilangan mata pencaharian membuat Angku Zainal mulai menyibukan diri dengan menggarap sebidang lahan kosong peninggalan orangtuanya yang berada persis di samping masjid kampung Lubuk Kisam. Ia memutuskan mencabut plang petanda profesi dukun patah tulang itu dari halaman rumahnya, lalu sepenuhnya menggeluti hari-hari sebagai petani.

Di lahan yang sudah lama terbengkalai itu ia menanam beraneka-macam sayur-sayuran; bayam, wortel, kacang panjang, kangkung, dan lain-lain. Angku Zainal juga menanami lahannya dengan tumbuhan rempah; kunyit, serai, jahe, dan banyak bumbu dapur lainnya. Hasil panen kebun itu ternyata cukup untuk menutupi biaya hidup. Bahkan apabila hasilnya sedang melimpah, Mak Ainun sampai harus menjualnya ke pasar pekan.

Syahdan, tawaran menjadi marbot itu baru datang ketika Wak Hambali yang sebelumnya menjadi datuk sekaligus imam di masjid kampung Lubuk Kisam meninggal dunia. Semula terjadi silang pendapat perihal penunjukan Angku Zainal menjadi marbot. Orang-orang mencibir ilmu agamanya yang tak sebanding dengan mendiang Wak Hambali. Ada juga yamg belum bisa melupakan tabiatnya saat menjadi dukun patah tulang.

Di kepala mereka terbayang sesosok dukun kampung yang kikir dan mematok harga selangit junjung kepada para pasiennya. Namun, dikarenakan tak ada yang mau menggantikan tugas-tugas Wak Hambali, seperti mengisi bak air wudhu, membersihkan lantai masjid, menguras WC, dan lain sebagainya, maka mau tak mau mereka akhirnya bersepakat bahwa Angku Zainal-lah yang paling tepat  menggantikan posisi Wak Hambali.

Profesi itu melekat di badan Angku Zainal sampai akhir hayat dan membuat namanya harum selepas kematian. Namun, seandainya saja orang-orang kampung Lubuk Kisam mengetahui peristiwa sebelum malam nahas itu terjadi, maka hampir dapat dipastikan, luntur sudah kekaguman mereka pada kisah menggetarkan sosok alim Angku Zainal yang telanjur mereka elu-elukan.
***

Siang itu, sebuah sedan hitam masuk ke pelataran masjid kampung Lubuk Kisam. Dari dalam kendaraan mengkilat dan mewah itu keluar dua orang; satu lelaki dan satu perempuan. Mereka berdua bukan warga kampung Lubuk Kisam, sebab tak ada satu pun warga yang mempunyai mobil sebagus dan semulus itu. Paling bagus hanyalah mobil pick up milik tauke Subhan yang sering dijadikan kendaraan pengangkut buah sawit bila masa panen tiba.

Salat Zuhur baru saja selesai dan Angku Zainal sedang menyapu lantai manakala dua orang tamu tak dikenal itu menyapanya tanpa uluk salam. Sekonyong-konyong mereka mengajukan permintaan yang nyaris membuat jantung Angku Zainal mencelat dari tempatnya dan matanya melotot menatap mereka tak percaya.

“Tolong nikahkan kami, Angku. Kami saling mencintai dan tak ingin dipisahkan,” rengek si perempuan sambil bergelayut manja di lengan si lelaki.

“Hei, setelah tanpa salam dan tanpa sopan kaumasuk ke rumah Tuhan, sekarang kau mau bertingkah gila, Anak Muda?” hardik Angku Zainal sambil menudingkan gagang sapu ke muka dua orang di hadapannya.

Si lelaki langsung memegang tangan Angku Zainal, “Maafkan kelancangan kami, Angku. Kami sedang panik.”

“Apa pula pasal yang membuat panik itu?” tanya Angku Zainal dengan mata menyipit. Dan dengan gerakan tangan, ia mempersilakan kedua tamunya duduk.  Mereka bertiga pun duduk bersila di lantai masjid. Kedua orang itu tak langsung menjawab, melainkan saling pandang terlebih dahulu, seakan ragu.

“Melihat raut pucat kalian, apa kalian sedang dikejar-kejar hantu?” tanya Angku Zainal sambil meringis menahan tawa.

“Bukan, Angku.” Si perempuan angkat bicara. Kemudian dengan sedikit gemetar ia berkata, “kami sedang dikejar orang tuaku. Kami kawin lari.”

Terkekeh juga akhirnya Angku Zainal mendengar pengakuan si perempuan. Si lelaki menunduk malu-malu. Angku Zainal memandangi dua sejoli itu berganti-ganti sambil mengusap-usap jenggotnya sembari bergumam dan menggeleng-geleng.

“Kenapa tak pergi ke KUA saja?” tanyanya keheranan. “Bukannya akan lebih cepat kalau kalian pergi ke sana?”

“Sudah, Angku,” sahut si lelaki. “Tapi mereka menolak.”

“Kenapa?”

“Karena kami saudara satu ayah.”

Angku Zainal terlonjak bagai tersengat arus listrik. Wajahnya memucat saking kagetnya. Hampir saja keluar kata makian dari mulutnya seandainya saja si lelaki tidak buru-buru merogoh tas di pangkuan dan menyodorkan sesuatu ke hadapannya. Sesuatu yang disodorkan lelaki itu membuatnya terperangah.

“Kami akan memberikan ini jika Angku mau menikahkan kami.”

Lelaki muda berdagu lebar itu mengeluarkan tiga kebat uang dari dalam tas hitamnya, lalu meletakkan uang itu di pangkuan Angku Zainal. Kedua pasangan itu menatap Angku Zainal penuh permohonan. Tak bisa disembunyikan raut merah padam di wajah keriput Angku Zainal manakala menatap tumpukan uang yang seumur-umur belum pernah dilihatnya itu.

Terbayang di pelupuk mata lelaki tua itu, betapa besar jumlah uang itu. Tentunya dengan uang sebesar itu, ia bisa mewujudkan permintaan Nizar, anak bungsunya yang sering betul merengek-rengek minta dinikahkan dengan Hayati, anak gadis Angku Jakfar. Namun bayangan berat dosa yang akan menekuk batang lehernya, mau tak mau membuatnya gentar juga. Menikahkan dua orang satu ayah haram hukumnya.

Angku Zainal terdiam cukup lama. Ia berpikir dan terus bergulat dengan iblis yang membujuknya. Ia paham betul akan dosa besar itu, akan tetapi godaan uang sebesar itu, sungguh sulit dihindari. Lalu dengan setengah lunglai, ia berkata, “Baiklah,” katanya dengan bibir gemetar. “Akan kunikahkan kalian sekarang juga.”

Kedua pasangan itu tampak bimbang sesaat dan saling memandang. “Bagaimana caranya?” tanya si lelaki. “Apakah perlu mendatangkan saksi?”

“Tak perlu,” kata Angku Zainal yakin. “Cukup Allah dan malaikat-malaikat saja yang menjadi saksi.”

“Bagaimana dengan hubungan kami?” tanya si perempuan masih ragu. “Apakah berdosa bagi kami dan anak temurun kami?”

Angku Zainal menghela napas sejenak, “Tidak,” katanya yakin. “Nabi Adam pun mengawinkan anak-anaknya dengan saudara sekandung.”

“Baiklah, Angku. Kami menurut saja kehendakmu.” Si lelaki akhirnya mengangguk pasrah. “Cepatlah nikahkan kami sekarang juga.”

“Tunggulah sebentar.”

Angku Zainal berjalan ke arah mimbar dan mengambil sebuah kotak persegi. Dari dalam kotak tersebut ia mengeluarkan Al Quran dan menggantinya dengan uang yang diberikan si lelaki. Setelah itu, lantunan ayat suci--yang entah betul entah salah--meluncur dari mulutnya. Kemudian, dengan sepenuh keyakinan, dijabatnya tangan si lelaki dan bertindaklah ia selayaknya seorang penghulu yang menikahkan kedua mempelai.

Tak perlu waktu terlampau lama, prosesi itupun ditutup dengan doa. Dengan keyakinan luar biasa, Angku Zainal berkata, bahwa keduanya telah sah menjadi suami-istri. Usai berbincang-bincang sesaat, kedua pasangan yang baru saja dinikahkan itu pamit terburu-buru, meninggalkan Angku Zainal tegak membisu di langkan masjid.

Ba'da magrib, sambil bersiul-siul, Angku Zainal membakar sampah dan daun-daun kering di halaman masjid. Bungah perasaannya, tersebab masalah yang membikin kepalanya pening seharian ini, telah sirna dengan cara-cara tak terduga. Dari kejauhan Mak Ainun memanggil dan mengatakan bahwa makan malam telah tersedia.

Saat Angku Zainal bertolak meninggalkan halaman masjid, sehelai daun yang tadi dibakarnya di tempat sampah, terbang melayang dan menyusup ke lubang ventilasi. Daun itu lalu hinggap di gulungan karpet lapuk dan mulai membakar perabot masjid satu persatu. Dinding papan yang lapuk itu tak kuasa menahan jilatan api panas membara yang rakus melumat apa saja.

Malam celaka itu Angku Zainal bagai tak melihat api besar yang membumbung di atap masjid. Ia melompat ke kobarannya dan berhasil keluar dengan sekujur tubuh penuh luka. Sebuah kotak persegi di pelukannya terlihat aman tanpa ternoda. Orang-orang berkerumun ingin menolong, namun lelaki tua itu menolaknya.

Sementara orang-orang sibuk memadamkan api, Angku Zainal terus memanggil-manggil nama istrinya. Angku Zainal meminta Mak Ainun mendekat, lalu berbisik, “Simpan uang yang ada di dalam kotak ini baik-baik. Jangan kauberitahu siapa pun isinya. Pergunakan untuk menikahkan anak bungsu kita.”

Belum pula Mak Ainun menjawab permintaan itu, ruh Angku Zainal sudah terlepas dari jasadnya. Perempuan tua itu bersimpuh memangku jasad suaminya yang tak kunjung melepaskan kotak persegi itu dari dekapannya. Bibirnya terus gemetar, namun tak ada suara yang keluar. Rahasia kematian Angku Zainal tetap tersimpan di dada Mak Ainun, mungkin akan dibawanya sampai ke liang kubur. (*)

Sabtu, 28 Juli 2018

Riwayat Gelang Akar, dimuat di Lampung Post, edisi Weekend, 28 Juli 2018

Masih terang dalam ingatan Rao, peristiwa berdarah tujuh belas tahun yang lalu, saat ia dan  gerombolannya dikepung polisi di belantara Himbe Ijang. Mereka hanya diberi dua pilihan; menyerah atau melawan. Dua pilihan itu sama buruknya. Jika tertangkap, mereka akan berakhir di penjara dan jika melawan, mereka akan berakhir di kuburan—itu pun jika mayat mereka tidak dibuang.

Malam itu, belantara Himbe Ijang riuh oleh suara tembakan. Tiga orang anak buah Rao mati diterjang peluru, sedangkan dirinya berhasil lolos dari maut setelah berhasil melarikan diri dan menerabas gelap pekat belantara Himbe Ijang. Ia menjatuhkan diri ke jurang Matauh yang terkenal dalam dan angker. Para polisi menghentikan pengejaran dan sejak saat itulah Rao resmi menjadi buronan.

Ia mengembara di sepanjang pulau Sumatera. Dari Bengkulu, ke Jambi, menetap sebulan dua bulan di Padang, hingga akhirnya pelarian itu mengantarkannya ke kota Medan. Di kota inilah Rao menyamar sebagai sopir Sodaco yang mengambil jurusan Simalingkar-Padang Bulan.

Jika ditanya, siapa sosok yang paling dirindunya, maka jawabannya tentulah kepada Mar. Rao merindukan perempuan itu hampir setiap hari. Satu-satunya yang bisa mengobati kerinduan itu hanya selembar foto yang selalu ia simpan di saku baju. Di dalam foto itu Rao memeluk Mar--perempuan yang mengenakan daster bermotif bunga asoka dan tampak sedang hamil tua.

Bertahun-tahun ia membekap rindu, terlunta-lunta di tanah orang, dihantui bayang-bayang masa lalunya yang hitam. Rao tak punya keberanian untuk pulang, tersebab malu bertemu Mar. Namun tabiat rindu memang demikian keras kepala. Meski sudah bertahun-tahun Rao mencoba mengenyahkannya, namun selalu saja, rindu itu datang dan membuat batinnya terpiuh-piuh remuk redam. Sampai pada akhirnya kesempatan menuntaskan rindu itu datang. Marpaung, teman dekatnya yang berprofesi sebagai sopir truk ekspedisi, memintanya mengantar muatan ke Jakarta.

“Anak sulungku masuk rumah sakit. Kau tahu, sejak Julaiha meninggal, akulah satu-satunya orangtuanya. Tolonglah,  aku betul-betul butuh bantuanmu. Tak akan lama. Satu minggu saja,” kata Marpaung.

Tak mungkin Rao menampik permintaan itu. Marpaung adalah orang yang pernah menolongnya, orang yang pernah menyelamatkan jiwanya dari amuk massa saat terpaksa mencuri karena lapar. Marpaung pula orang yang mengenalkannya pada Haji Sulaiman dan meyakinkan pemilik armada sodaco itu untuk memberinya pekerjaan. Sebagai laki-laki, Rao harus tahu cara membalas budi.

“Oya, apa kau pernah mendengar tentang Gelang Akar?” tanya Marpaung membuyarkan lamunan Rao.

“Gelang Akar?”

“Gerombolan begal yang menguasai jalur Lintas Selatan,” ujar Marpaung sambil menyeruput kopi bikinan Mak Salim, pemilik kantin armada sodaco tempat ia dan Rao sedang berbincang.

Rao menggeleng. “Aku sudah lama tak pulang. Pasti banyak yang telah berubah.”
Laki-laki setengah baya itu menarik sebatang rokok dari bungkusnya, lalu menyelipkannya di bibir. Sebenarnya ia terkejut sekali saat Marpaung menyebut-nyebut nama itu. Masa lalunya yang telah mati hidup kembali. Namun, Rao cepat menyembunyikan perubahan air mukanya di balik gumpalan asap rokok yang diembuskannya. Asap itu tebal bergumpal-gumpal, persis isi kepalanya.

“Kau pernah bertemu mereka?” tanya Rao.

“Tidak pernah,” jawab Marpaung. “Tiga minggu yang lalu kabarnya Ucok Lintah dibegal kawanan bedebah ini.”

“Bagaimana mungkin?” ledek Rao disusul tawa pendek yang terdengar sumbang. “Ucok itu preman di pangkalan sodaco ini. Tak mungkin mudah mengalahkannya.”

“Mereka punya senjata,” ujar Marpaung.

“Senjata?”

“Iya, senjata api. Bah! Kaupikir cuma parang? Kalau cuma parang, tak akan mundur kawan kita itu!” seru Marpaung tergelak.

Rao ikut tergelak. “Ooo, pantas saja kalau begitu.”

“Ya, karena itu kusarankan padamu, sebaiknya berhati-hati saat melintas di sana. Usahakan jangan melintas malam hari.”

Rao mengangguk dan tersenyum penuh arti. Bertahun-tahun yang lalu, ia juga seorang begal. Dan tentu saja, rahasia itu tidak akan ia ceritakan pada Marpaung. Rao yakin sekali, ada gerombolan lain yang memakai nama Gelang Akar, sebab saat ini, hanya dirinya satu-satunya orang yang masih hidup dari gerombolan itu. Alih-alih takut, Rao justru penasaran, siapa yang telah membangkitkan nama Gelang Akar?
***

Bahar berdiri di ambang pintu. Baju seragam sekolahnya basah oleh air mata. Ada gurat luka di pelipisnya, seperti bekas cakaran. Mar sedang menjemur cucian ketika anak semata wayangnya itu bertanya dengan nada penuh kemarahan.

“Apa benar aku anak seorang begal?”

“Siapa bilang begitu?”

“Teman-temanku.”

Mar terdiam, memandangi wajah anaknya. “Mana yang akan kaupercaya? Emakmu atau temanmu?” tanyanya gemetar.

Bahar mematung dengan wajah merah padam.

“Jangan dengarkan apa kata mereka,” lanjut Mar sambil mengusap kepala Bahar. “Mereka tak tahu apa-apa. Bapakmu bukan penjahat. Bapakmu sedang merantau ke Malaysia.”

“Betulkah itu?”

Mar mengangguk ragu-ragu. “Lihatlah foto yang tergantung di dinding itu,” katanya seraya menunjuk sebingkai potret buram yang tergantung di dinding. “Itu aku dan bapakmu. Ia lelaki baik-baik. Bukan penjahat.”

Bahar tak lagi bertanya. Ia meninggalkan ibunya mematung di bawah tiang jemuran. Dada perempuan itu rengkah. Entah sampai kapan hatinya sanggup menyimpan rahasia. Lidahnya membatu setiap kali ingin menceritakan semuanya kepada Bahar.

Semula Mar mengira jawaban yang ia berikan siang itu akan memungkasi persoalan, namun esok paginya, Bahar kembali pulang lebih awal dan membawa luka lebam di bawah mata. Ketika Mar bertanya, anak itu mengaku baru saja mematahkan batang hidung teman sebangkunya.

“Mereka boleh menghinaku. Tapi jangan sesekali menghina bapakku, ucap Bahar geram.

Sejak hari itu, Bahar menjadi liar dan gemar berkelahi. Tak sekali dua kali Mar dipanggil guru. Tak jarang pula perempuan itu dilabrak orang tua yang anaknya babak belur dipukuli Bahar. Namun Mar tak pernah menjawab dan tak pula membela. Sikap yang akhirnya membuat Bahar kembali bertanya-tanya.

“Mengapa Emak tak pernah membela bapak?”

“Untuk apa? Mereka tak tahu apa-apa.”
Mendengar itu Bahar tersadar, tidak ada yang bisa membela bapaknya kecuali dirinya sendiri. Lantaran itu pula ia menolak ketika Mar membujuknya kembali ke sekolah. Bahar lebih memilih belajar kuntau pada Cik Amat, seorang pendekar tua di kampungnya.

Hanya butuh waktu tiga tahun bagi Bahar mengkhatamkan semua jurus yang diberikan Cik Amat. Tiga tahun yang mengubah dirinya dari bocah kerempeng, menjadi jago kuntau yang disegani.
Menginjak usia enambelas, Bahar mengajak teman-temannya sesama putus sekolah untuk bergabung dengan kelompok berandalan yang ia namai Gelang Akar. Nama itu terilhami dari kisah yang disenaraikan Cik Amat, bahwa belasan tahun yang lalu, nama itu dipakai segerombolan begal budiman. Mereka kerap membagi-bagi hasil rampokan kepada orang miskin di kampung-kampung.

"Tapi kini, tak ada yang tahu nasib gerombolan itu. Mereka mungkin telah mati ditembak polisi," kata Cik Amat memungkasi kisahnya pada Bahar.
***

Dari sekian puluh aksi yang dipimpinnya, baru kali ini Bahar dipaksa turun tangan. Laki-laki itu berhasil menumbangkan tiga temannya dalam satu pertarungan. Bahar tersadar, ia dalam masalah besar sekarang. Sopir truk yang dihadapinya kali ini, bukan sopir truk sembarangan. Bahar mengacungkan pistol, bermaksud menyudahi perkelahian. Namun pistol itu, entah mengapa, tiba-tiba tak mau bersuara. Pistol di tangannya seolah menjelma menjadi besi tua yang tak berguna.

Laki-laki itu menyeringai sambil menunjuk pistol di tangan Bahar dengan tatapan menghina. “Benda itu hanya cocok untuk perempuan.”

Bahar mendengus. Dibantingnya pistol itu ke aspal. “Kalau begitu, ajari aku berkelahi secara jantan!” serunya sembari meloloskan golok yang tergantung di pinggang.

Desing logam menggema di udara. Laki-laki itu menahan napas. Golok melesat di atas kepalanya. Dengan sigap, ia menarik tubuh ke belakang, namun terlambat. Ujung golok itu menggores pipinya. Bibir laki-laki itu bergetar, bukan oleh rasa sakit, melainkan oleh amarah. Dengan gerakan memutar, ia menendang dada Bahar. Bahar melompat mundur. Laki-laki itu mencabut sebilah belati.

Jual beli jurus berlangsung di atas jalan yang sepi. Golok dan belati saling silang mencari maut. Meski pertarungan telah berlangsung bermenit-menit, namun di antara mereka belum ada yang menyerah. Bahar mengeluarkan semua jurus kuntau yang ia miliki, namun laki-laki itu masih tetap berdiri.

“Aku akan mengadu nyawa denganmu!” teriak Bahar kalap dan merasa sedang dipermainkan. Laki-laki setengah baya itu tersenyum mencela. Namun ia tak bisa menutupi sirat lelah di wajahnya. Pertarungan itu telah menguras separuh tenaganya.

Untuk sementara laki-laki itu masih sigap mengelak, namun lama kelamaan ia terdesak juga. Hingga pada satu titik, Bahar menemukan satu celah. Kepalan tangannya berhasil mendarat di pelipis, disusul tendangan ke tulang rusuk. Sabetan golok menyilang tajam, merobek urat besar di pangkal leher. Laki-laki itu mengeluh pendek, lantas tumbang di atas genangan darahnya sendiri.

Belum pernah Bahar bertemu musuh segigih ini. Lawan paling tangguh yang pernah ia hadapi. Ia menghampiri mayat itu, lalu memungut selembar foto yang tercecer di atas aspal. Dua wajah yang tak asing di foto itu membuat tubuhnya bergetar, memicu raung panjang dari mulutnya. Bahar jatuh berlutut, meratap rindu pada bapaknya dan menghiba meminta ampun pada emaknya. (*)

* Sodaco, sebutan masyarakat kota Medan untuk angkutan kota.

Rabu, 11 Juli 2018

Jeruji, dimuat di Harian Rakyat Sultra, edisi 22 Juni 2018

Aku sebentar lagi jadi hantu, hantu yang menyaru bersama angin malam yang diam-diam menyusup di sela jeruji berkarat ini. Aku kesepian dan hanya berteman gemeritik kaki tikus yang berlarian di atas plafon. Entah, sudah berapa manusia yang menunggu mati dan kesia-sian di ruangan ini. Menanti maut menjemput dalam detik-detik yang terasa begitu lama.

Angin  menggidikan kembali berembus semilir, merabai tiap jengkal tubuhku yang berbalut selimut usang berlubang-lubang. Ah, aku ingat dulu, angin pun berembus semilir seperti ini. Di pematang sawah aku menikmati desir angin yang menyejukan pori-pori. Gunung Mekongga menjulang kebiruan di kejauhan. Begitu damai dan begitu syahdu suasana itu. Namun suasana damai itu jauh berbeda dengan rasa yang ada di hatiku.

Aku ingin mengubah nasib!” jeritku kala itu.

Aku pilu menatap tubuh tua yang lengkung dan berkecipak dengan lumpur itu. Didera hujan panas demi menghidupiku. Aku capek bernapas dalam ikatan kuat tali-temali kesengsaraan dan terkotak-kotak dalam kemiskinan. Terhina dan selalu dipandang sebelah mata.

“Mak tak melarangmu, Nak. Mak masih sanggup jika hanya untuk makan kita berdua,” ucap Mak menggoyah tekadku kala itu. Kamu bisa minta pekerjaan pada Pak Linto jika hanya ingin membantu Mak. Kemarin dia menemui Mak di sawah."

Aku tersentak. Kutoleh cepat wajah yang sedang meniup tungku api itu. Wajah  keriput yang berselemong jelaga dari tungku yang ditiupnya sekuat tenaga.

“Buat apa dia menemui Mak? tanyaku menyelidik.

Aku punya firasat tak enak. Batinku berkata, ini pasti tak jauh dari niat mesum terselubung. Aku sudah bisa menangkap itu dari tatapan lelaki tua itu. Tatapan mata yang seolah ingin menelanjangi tubuhku. Lelaki tua yang punya setengah lusin bini, namun selalu mencari kehangatan pada gadis-gadis muda di desa Lambakara.

“Dia berkata ingin mempekerjakanmu di rumahnya. Tapi itu juga kalau kamu mau."

Dasar tak tahu diri!” umpatku dalam hati.

Aku mendengus. Benci menyeruak dalam hatiku, menggeliat dan keluar dari batang tenggorokanku menjadi hardikan. “Pak Linto manusia bejat itu, Mak? Huh! Dia berpura-pura menawarkan kebaikan, tapi setelah itu kita harus membayar dengan apa yang kita punya. Aku tak sudi bekerja pada orang seperti itu!”

“Tapi, Nak. Mungkin hanya dengan itu hutang mendiang bapakmu bisa dianggap lunas,” Mak menatapku tajam,mungkin hanya dengan itu pula kita bisa mengambil sawah kita yang telah tergadai kepadanya.”

Aku terdiam. Pernyataan Mak menohok ulu hatiku. Membuatku lemah seketika. Yah, semua memang salahku. Akulah penyebab tergadainya sawah itu pada Pak Linto. Demi sekolahku, Bapak menggadaikan sawah itu. Jika saat ini Mak mengatakan hal itu, tentu saja tak salah, karena mungkin dalam benak Mak cara itulah yang bisa membuatnya terbebas dari jerat piutang pada Pak Linto. Tapi aku tidak, aku masih punya cara lain.

“Kita masih ada cara yang lain, Mak. Cara yang tadi aku sampaikan kepada Mak. Aku yakin aku mampu mengubah nasib kita. Mak harus percaya padaku.“ Aku berusaha merongrong rasa percaya Mak agar keinginanku bisa mendapat restu. Kutatap raut wajah renta itu dan berharap akan meluncur kata-kata yang akan mengamini permintaanku. Permintaan yang entah sudah keberapa kalinya kuucapkan.

Mak menghela napas dan memandangku, “Baiklah, jika itu maumu. Mak tak bisa menahanmu, Mak hanya berharap itu keputusan yang terbaik untukmu.” Pedih dan lirih suara Mak. Kalimat itu menyudahi penantianku. Tersirat ketidakrelaan di pelupuk mata keruhnya. Tapi tekadku mengalahkan semuanya. Aku harus bisa membuat  kemalangan ini menjadi kebahagiaan.

Ini demi Mak," bisik hatiku berpuluh-puluh kali.

“Hati-hati di sana, Nak. Mak hanya bisa berdoa. Semoga kamu selalu dalam lindungan-Nya,” ucap Mak tersedu-sedu.

Di hari perpisahan itu, Mak menangis seraya memelukku erat sekali. Kubalas pelukan Mak. Tak kuasa kutahan air mataku. Tak kuasa pula aku berucap. Entah ke mana perginya gelora semangat ketabahanku selama ini. Entahlah, saat itu aku merasa benar-benar rapuh. Rapuh dalam dekapan Mak yang menangisi kepergianku. Dekapan dan tangisan yang terakhir kalinya untukku.

Sebulan di karantina, aku akhirnya diberangkatkan juga. Petugas PJTKI yang mengirimku mengatakan, aku akan bekerja di Arab Saudi, menjadi Pembantu Rumah Tangga, katanya. Aku bersorak bahagia. Buliran air mata menetes di pelupuk mataku seiring pesawat tinggal landas meninggalkan tanah air. Saat itu aku cuma ingat wajah Mak, wajah renta yang akan kutinggalkan di bumi Kendari, bumi Kota Lulo yang kucintai.

Hari itu kujejakan kakiku di beranda rumah megah itu. Aku sama sekali tak merasa kesulitan beradaptasi dengan iklim Arab saudi yang menyengat. Segala urusan rumah tangga kukerjakan sepenuh hati. Pelatihan selama di karantina sangat berguna. Sama sekali tak ada yang tak wajar kala itu. Hari-hari kulalui dengan bekerja dan bekerja. Hubungan dengan majikan pun kurasa berjalan biasa saja. Hingga malam petaka itu pun mengubah segalanya.

“Tuan Mahmud. Apa yang tuan lakukan?”
Aku terkejut. Aku menjerit sekuat-kuatnya. Aku tak tahu sejak kapan Tuan Mahmud ada dalam kamarku. Tubuhnya yang tinggi besar itu menindihku. Aku meronta, memukul, menendang. Tapi, semua itu tak melonggarkan cekalannya pada tanganku. Sebuah tamparan keras membuat pandanganku berkunang-kunang. Dengan sisa tenaga aku masih mencoba melawannya.

“Ya Allah, tolong aku...,“ lirihku tak berdaya.

Tak ada lagi pemberontakan. Aku lemah, tenaga perlawananku habis sudah. Masih sempat kurasakan jahanam itu merobek-robek pakaianku. Dalam ketidak berdayaan itu, masih dapat kudengar deru napas binatangnya menjelajahi lekuk tubuhku. Hingga rasa sakit yang tak terperi itu akhirnya menerbangkan kesadaranku. Hening, pekat, senyap seperti mati. Andai saja aku mati, mungkin lebih mudah bagiku ketika itu.
Pagi harinya, aku terjaga. Remuk redam sekujur tubuhku. Bilur-bilur lebam penuh menyeluruh. Rasa perih di selangkanganku membuatku menangis sejadi-jadinya. Bercak darah tercecer di sprei ranjang. Darah kehormatan yang direnggut paksa oleh kebiadaban nafsu iblis yang durjana. Pemerkosaan malam itu telah membantai habis mimpi-mimpiku.

“Mak ... ” Sepatah kata itu saja yang mampu terucap. Selebihnya hanya isakan-isakan tiada arti. Rupanya impian dan keinginan memang tak selalu berakhir sesuai dengan harapan. Tak ada lagi rencana-rencana indah yang menggelayuti kelopak mataku. Tak ada lagi mimpi-mimpi indah tentang aku dan Mak. Sekarang semuanya berubah, yang ada hanya dera siksa jiwa dan raga. Aku terkurung seperti binatang hina dalam kegelapan rasa takut dan ancaman. Aku menjadi budak nafsu dari manusia bejat bersyahwat iblis.
***

Aku tertawa. Gelombang suaraku memantul menyeramkan di lorong angker tembok berjeruji ini. Tawa yang persis suara setan yang sebentar lagi akan  menjadi sahabat karibku. Aku menertawakan nasibku. Menertawakan azab yang menimpaku. Entahlah, mungkin sekarang aku gila. Gila, karena pasrahku pada kezaliman yang menimbuniku seolah aku sang pendosa besar yang tak layak diperhatikan.

“Pernahkah kalian renungkan alasanku?”

“Pernahkah kalian rasakan sakitnya diperkosa kemanusiaanmu?”

“Pernahkah kalian tahu betapa mulia impianku?”

“Pernahkah kalian tahu semua itu?”

"Pernahkah?"

“Memang, kalian tak akan pernah tahu!"

“Kalian hanya segumpal daging hina yang tak akan pernah tahu apa itu derita!"

“Kalian hanya dapat tertawa!"

"Kalian tersenyum saat menyematkan kata istimewa bahwa kami adalah pahlawan Devisa!"

“Namun kalian lupa jika kami teraniaya, diperkosa, disetrika, dilecut, diinjak-injak hanya demi dua kata: Hidup layak.”

“Kalian melengos membuang muka!"

“Cuma kata-kata keprihatinan!"

“Cuma ucapan bela sungkawa!"

“Cuma uang kerohiman yang jumlahnya tak seberapa!"

“Katanya untuk biaya pemakaman. Menjamu tamu yang datang untuk tahlilan dan yassinan!"

“Namun, tak pernah ada bentuk nyata untuk memperjuangkan hak-hak para pengisi lumbung devisa yang kerap kalian curi itu!"

"Kalian lebih biadab dari para bangsat yang membunuhi hak-hak kami!"

Betapa terang dalam ingatanku pada malam terkutuk yang terakhir itu. Telah kusiapkan pisau dapur sangat tajam. Pisau yang telah kuasah sepenuh hati. Pisau yang kutaruh rapi di bawah bantalku. Niatku sudah bulat, Tuan Mahmud harus mati.

Kutunggu dengan perasaan mencekam. Daun pintu kamarku berderit, sama seperti malam-malam sebelumnya. Sosok iblis itu datang lagi. Kupejamkan mataku rapat-rapat, kuselipkan tanganku di bawah bantal, kugenggam erat pisau dapur itu seolah pisau itu malaikat pelindungku.

Aku mulai merasakan tangan laknat itu menyusuri betis dan pahaku. Seperti malam-malam terkutuk sebelumnya. Aku tetap membeku, tak bereaksi. Tak lama tubuh pun dibaliknya. Perlahan dia mulai menaiki tubuhku. Saat itulah kuayunkan secepat kilat pisau yang sedari tadi ada di genggamanku.

Pisau tajam itu menancap tepat di lehernya. Teriakan tertahan menggema di malam buta. Semburan darah keluar dari kulit lehernya yang robek menganga. Kutendang sekuat-kuatnya tubuh manusia durjana itu. Terguling dan rebah dia di sampingku.

Seringai kematian di wajah itu membuatku bahagia. Kuludahi wajahnya yang tengah meregang nyawa, lalu kugorok batang kehidupannya. Bersama bau anyir dan genangan darah di sela-sela jemariku. Aku mendengar jutaan suara mencaci maki.

“Pembunuh!”

“Biadab!”

“Jananam tempatmu!”

“Betina jalang!”

"Ah! Persetan!”

Aku tak peduli, jika kini aku adalah sang binatang. Aku puas, setidaknya dengan cara itu penderitaanku berakhir. Duniaku tentu saja runtuh kala itu. Kalau saja boleh meminta, aku hanya  ingin bertemu dengan Mak. Aku ingin bersujud meminta ampun kepadanya, memeluknya, dan menyesal karena tak mendengar nasehatnya. Namun pinta manusia berdosa sepertiku mana ada pengabulannya? Aku benar-benar terlunta menunggu mati di negeri ini.

Aku orang yang terbuang. Tiap menit, tiap detik hanya Mak yang ada di benakku. Siapa yang akan menemani tidur Mak? Siapa yang akan menyelimuti Mak di malam dingin yang menggigit? Sanggupkah Mak hidup sebatang kara tanpa aku?  Tahukah Mak, jika sekarang tak akan ada lagi aku, Mak?
Aku yang selalu setia mengantar makanan untuk Mak di sawah kita yang cuma sepetak. Aku yang senang bersenandung sambil menampi bulir padi yang baru dituai. Aku yang selalu memijat punggung Mak sampai Mak tertidur lelap. Namun, kini tak akan ada lagi aku, Mak, tak akan ada lagi, karena beberapa jam lagi aku akan di hukum mati. (*)

Selasa, 08 Mei 2018

Gasiang Tengkurak Engku Kajang. Dimuat di Haluan Padang edisi Minggu, 22 April '18

Mula-mula tak ada yang mengira jika lelaki tua di lepau nasi Mak Banun itulah yang akan menyudahi kejahatan Engku Kajang. Orang-orang berpikir ia hanya musafir yang kebetulan lewat dan hendak berteduh karena hujan turun sedemikian derasnya di kampung Lubuk Pakam. Kulitnya coklat tua. Rambut kelabunya menjuntai menutupi kuduk. Gamis putih dan sebatang tongkat hitam di tangannya seakan menjelaskan bahwa ia bukan lelaki biasa.

Tuk Sofyan, suami Mak Banun, menghampirinya. Ia ingin tahu siapa gerangan lelaki dengan janggut putih serupa kapas itu dan apa pula keperluannya datang ke kampung Lubuk Pakam. Ramah ia bertanya nama dan asalnya, tapi dengan suara parau, lelaki asing itu memberikan jawaban yang membuat Tuk Sofyan dan juga pengunjung lainnya tercengang-cengang.

“Aku adalah Siak Ali Jemenang. Aku datang untuk bertemu Engku Kajang.”

Tuk Sofyan tersenyum kecut. Entah mencela, entah merasa jerih. Bagi orang-orang di kampung Lubuk Pakam, nama Siak Ali Jemenang adalah legenda. Ia dipercaya sebagai leluhur yang mendirikan kampung itu pertama kali. Makamnya yang dikeramatkan, hanya berjarak seratus meter dari lepau nasi Mak Banun. Setiap tahun, dalam acara kenduri kampung, orang-orang menziarahi dan membersihkan makam itu sebagai laku penghormatan atas jasa-jasanya.

Mengingat riwayat yang melekat pada diri Siak Ali Jemenang, tak heran jika kehadirannya di siang hari begitu rupa membuat merinding orang-orang. Mereka disergap perasaan ganjil. Semula mereka tak ingin percaya ucapan-ucapannya, namun lelaki tua itu tahu banyak tentang riwayat kampung Lubuk Pakam, padahal tak pernah sekalipun ia terlihat sebelumnya.

“Gasiang itu sudah banyak makan darah. Oleh sebab itu, ia harus dihentikan,” tukas lelaki tua itu tiba-tiba, seolah mampu membaca isi kepala Tuk Sofyan dan orang-orang yang memandangi wajahnya.

“Sudah banyak yang mencoba, tapi semuanya sia-sia.” jawab Tuk Sofyan dengan bibir gemetar.

Mata kelabu lelaki tua itu menusuk tajam mata Tuk Sofyan. “Malam ini ajalnya akan tiba. Di puncak Bukit Guntung, aku akan menghukumnya. Apabila dibiarkan, ia akan semakin banyak meminta nyawa. Apa kau lupa, Sofyan? Bapakmu adalah korban ke sekian Engku Kajang.”

Tuk Sofyan terkesiap. Kata-kata lelaki tua itu menampar ingatannya, membawanya terbang ke masa lalu. Ia teringat kala bapaknya ditemukan mati misterius di surau kampung pada suatu subuh. Dari para tetangganya ia mendengar bisik-bisik, bahwa bapaknya mati lantaran coba-coba menghentikan kejahatan Engku Kajang. Sebagai guru ngaji dan datuk di surau, bapaknya memang paling lantang menentang praktik sesat Engku Kajang.

“Engku Kajang sudah sepenuhnya dikuasai iblis. Kalian tak akan mampu menghentikannya. Hanya aku yang mampu. Malam nanti akan kusudahi semuanya. Aku peringatkan kalian semua, jangan sesekali menduakan Tuhan. Jangan pula ulangi kesalahan Engku Kajang yang menggadaikan hidupnya di tangan setan.”

Kata-kata itu mengguyurkan hawa mencekam di lepau nasi Mak Banun. Para pengunjung semuanya terdiam. Tak ada yang berani buka suara. Hujan turun semakin deras ketika lelaki asing itu beranjak. Orang-orang menatapnya terkesima. Meski hujan turun demikian deras, namun tubuhnya tidak basah sedikitpun. Jangankan basah, setitik pun tidak ada hujan yang mampu mengenai sehelai rambut di kepalanya.

***

Puluhan tahun silam, tiada yang paling diinginkan Engku Kajang selain menjadi dukun paling sakti di kampung Lubuk Pakam. Ia menyepi di goa Seminung selama 40 hari 40 malam demi memperdalam ilmu Gasiang Tangkurak yang selama ini dipelajarinya dari serat lontar peninggalan kakek buyutnya. Pada malam ke 40, dalam kondisi hampir mati lantaran kurang makan, Engku Kajang mendengar sebuah bisikan.

"Kau hanya bisa mencapai taraf tertinggi apabila benda mustika itu kaubuat dari tulang kepala, tapi kepala bukan sembarang kepala, kau mesti membuatnya dari tulang kepala anak kandungmu," demikianlah bisikan itu bergema dan menyudahi tapa Engku Kajang.

Maka pada suatu malam, dengan hati yang sudah hitam sempurna, Engku Kajang mengorbankan Marsalim, anak satu-satunya dari buah perkawinannya dengan mendiang Mak Rubayat. Engku Kajang memancung kepala bocah malang itu tanpa keraguan.
Hujan badai dan denyar petir yang merobek kegelapan malam itu, mengiringi ritual mistis Engku Kajang. Setelah kulit kepala anaknya terkelupas seluruhnya, ia mengorek bagian keningnya selebar jempol kaki. Ia membuat dua lubang serupa kancing di bagian tengah, kemudian dua lubang itu dijejalinya dengan benang tujuh warna yang telah dilumuri darah segar ayam hitam. Gelegar guntur meletup dahsyat ketika dari arah jendela, sinar tujuh warna muncul dan merasuki tubuh kurus Engku Kajang.

Sejak malam itu, terwujudlah keinginan Engku Kajang menjadi dukun sakti tiada tanding di kampung Lubuk Pakam. Berpuluh tahun kemudian, tiada satu orang pun yang tak gentar apabila mendengar namanya disebutkan. Tarikh kemasyurannya sedemikian menakutkan, dituturkan dari mulut ke mulut, dan menjadi kepercayaan yang mendarah daging bagi orang-orang di kampung Lubuk Pakam, bahwa apabila terjadi kematian yang tak wajar di kampung itu, maka pelakunya pastilah Engku Kajang.
Sudah menjadi rahasia umum apabila sinar tujuh warna itu muncul, maka keesokan harinya pasti ada yang akan mati. Pada siang hari sebelum sinar itu muncul, seseorang telah mendatangi kediaman Engku Kajang. Tiada niat yang mereka bawa kecuali niat jahat untuk menyingkirkan lawan dengan bantuan ilmu hitam Engku Kajang.

Apabila kesepakatan dan syarat-syarat telah dilunasi, maka Engku Kajang akan mengirim Gasiang Tangkurak untuk menuntaskan pekerjaannya. Bunyi berdesing benda itu mengerikan. Orang-orang yang terbilang paling berani berhadapan dengan hantu Siampa atau palasik sekalipun akan bersembunyi jika melihat benda gaib itu terbang di kegelapan malam. Ketimbang berjibaku langsung menghadangnya atau mengantar nyawa cuma-cuma, mereka lebih memilih menghindar atau mendiamkannya.

Selama hidupnya, konon sudah tak terbilang berapa jumlah korban Engku Kajang. Lelaki yang jarang menampakkan diri di tengah keramaian itu tak pandang bulu menghabisi korban-korbannya. Mereka berasal dari beragam latar belakang. Ada pejabat, ada saudagar, ada pemuka agama dan ada pula dari kalangan orang biasa. Namun pada akhirnya, sehebat-hebatnya ilmu hitam, tetap saja ada titik takluknya. Seperti nasihat tua, bahwa di atas langit, masih ada langit, begitulah akhir kemasyuran Engku Kajang.

***

Orang-orang kampung Lubuk Pakam telah berkumpul di lereng bukit Guntung. Mereka ingin melihat petarungan gaib antara Engku Kajang dengan lelaki renta yang tadi siang singgah di lepau nasi Mak Banun. Mereka seakan digiring oleh rasa penasaran yang sama; akankah lelaki tua itu bernasib sama seperti para korban sebelumnya, mati ditebas Gasiang Tangkurak Engku Kajang?

Hening yang ganjil merayapi bukit Guntung. Tak ada kesiur angin. Tak ada suara binatang. Namun di balik semak ilalang dan di dahan-dahan pohon saga, orang-orang menanti dengan dada bergemuruh. Di depan sana, lelaki renta yang mendaku dirinya sebagai Siak Ali Jemenang itu berdiri gagah. Kakinya merenggang dan di tangan kanannya terpancang sebatang tongkat hitam.
Keheningan yang semakin ganjil itu serta merta pecah ketika seberkas sinar tujuh warna melesat dari arah lereng bukit. Sinar itu menukik tajam sejarak sepuluh depa di hadapan Siak Ali Jemenang. Sinar itu secara perlahan membentuk satu sosok lelaki bertubuh tinggi, dengan pakaian serba hitam dan berikat kepala merah. Orang-orang langsung bisa mengenalinya, itulah sosok menyeramkan Engku Kajang.

“Kelancanganmu mencampuri urusanku akan kau bayar dengan nyawa!”

“Manusia takabur! Dosa dan kejahatanmu sudah lewat takaran!” bentak Siak Ali Jemenang sambil menudingkan tongkatnya lurus ke arah dahi Engku Kajang. Lelaki kurus jangkung itu hanya mendengus.

Mendadak udara menjadi sangat dingin. Angin deras muncul entah dari mana. Semak ilalang dan pohon-pohon saga yang mengelilingi tanah lapang itu berdesir dan berderak-derak. Orang-orang berloncatan dari atasnya, sebab takut pohon itu akan tercerabut dari akarnya. Mereka lalu berkumpul di rerimbun semak ilalang, sebagian lagi berlari pulang ketakutan.

Tubuh Engku Kajang kembali menjadi sinar tujuh warna, sedang tubuh Siak Ali Jemenang memancarkan sinar putih keperakan. Sinar tujuh warna itu bergasing bagai titiran. Membelit dan menusuk-nusuk tanpa henti. Suaranya berdesing-desing tajam, menyambar ganas ke arah tubuh Siak Ali Jemenang. Namun lelaki tua itu bergeming. Sekujur tubuhnya bagai diselubungi pelindung tak kasat mata. Sinar jelmaan Engku Kajang tak sekalipun mampu menyentuhnya.

Beberapa lama sinar tujuh warna itu melayang-layang, sampai kemudian dengan gerakan yang tak masuk akal, Siak Ali Jemenang melompat ke udara. Saat kedua kakinya menjejak tanah, sinar tujuh warna itu sudah berada di genggamannya. Terdengar derak bunyi benda remuk diremas disusul suara jeritan parau mengerikan Engku Kajang. Dari sela jemari Siak Ali Jemenang, sinar tujuh warna tadi perlahan padam.

Dari arah kampung Lubuk Pakam terdengar ledakan keras. Asap kelabu bergumpal-gumpal. Api raksasa menjilati langit malam. Asap dan api mengerikan itu berasal dari rumah Engku Kajang. Di tanah lapang, tubuh lelaki yang menjadi sumber segala ketakutan di kampung Lubuk Pakam itu terkapar diam, sedangkan lelaki tua yang mendaku dirinya Siak Ali Jemenang telah raib dari pandangan. (*)

Minggu, 22 April 2018

Perkutut Keberuntungan. (Solopos, Minggu, 22 April '18)

Entah milik siapa perkutut yang terbang kesasar di pagi itu, tampak jinak dan masuk begitu saja saat Ucok membuka jendela. Ia membelai-belai kuduk burung itu dengan lembut,  lalu dimasukkannya ke sangkar murai batu miliknya yang mati beberapa minggu lalu. Menjelang tengah hari, Maryamah datang membawa serantang nasi. Di sangkarnya, burung itu berkicau nyaring, seolah memberi sambutan hangat pada Maryamah.

“Abang dapat dari mana burung itu?” tanya Maryamah ketika mendapati sangkar burung tergantung lagi di bawah atap beranda setelah lama tak kelihatan.

“Tadi pagi burung ini masuk ke ruang tamu,” jawab Ucok sambil menjentik-jentikkan jarinya ke arah sangkar, memancing perkutut itu untuk berkicau. Burung itu mendengkur sambil menjinjit-jinjitkan bulu ekornya. Ucok tertawa senang melihat polahnya.

“Kenapa tak kaulepaskan saja?”

Ucok menggeleng, lalu duduk di bale bambu yang melintang di beranda. “Suaranya bagus, sayang kalau kulepas.”

“Sudah, makanlah dulu, Bang. Tadi aku masak lodeh labu siam kesukaanmu,” ucap Maryamah tak lagi menanggapi soal perkutut. “Aku mampir tak akan lama.”

“Mau ke mana?” tanya Ucok sambil membuka rantang dan menciduk nasi dari dalamnya.

“Menemui Hamidah.”

“Sampaikan salamku untuknya, ya,” kata Ucok tersenyum merona.

“Beres,” jawab Maryamah sambil tertawa. Usai berbincang-bincang sejenak, perempuan muda itu bertolak dari beranda, meninggalkan Ucok melahap makan siangnya sendirian. Perkutut berbunyi nyaring, seiring angin sepoi menggoyang lembut sangkar barunya.

Memang, sejak menikah, setiap tengah hari Maryamah mengantar rantang nasi untuk Ucok. Iba dia pada abangnya itu, tersebab sudah hampir kepala empat, belum juga sampai jodohnya. Di rumah panggung peninggalan orang tua mereka itu Ucok tinggal seorang diri. Lantaran cemas kalau Ucok tak masak, Maryamah pun rutin mengantar masakan untuknya.

Sudah banyak yang dikorbankan Ucok untuk Maryamah, termasuk mengorbankan dirinya sendiri: melajang sampai tua. Maryamah masih umur lima tahun saat orangtua mereka berpulang karena kecelakaan saat hendak menghadiri kenduri pernikahan kerabat di desa tetangga. Ucok yang ketika itu baru tamat kuliah, memutuskan mengurus kebun kelapa peninggalan orangtuanya. Dengan sekuat tenaga dia merawat Maryamah seorang diri dan tak mau membebani sanak-kerabatnya.

Sekarang, pengorbanan itu tidaklah sia-sia. Selepas menamatkan kuliah dan menjadi guru, Maryamah menikah dengan Nasution, dan sekarang tinggallah Ucok berkonsentrasi memikirkan keberlangsungan hidupnya sendiri. Target yang dirancangnya adalah menikah. Namun, masalahnya calonnya belum ada dan andai pun ada, biayanya belum pula memadai. Kegelisahan itu rupanya terbaca oleh Maryamah, atas inisiatifnya pula, dia mencoba menjodohkan Ucok dengan Hamidah, teman sesama gurunya, namun usianya tak berjauhan dengan Ucok. Boleh dikata, Hamidah juga seorang perawan tua.

Sebenarnya, sudah cukup lama pula Ucok menaruh hati pada Hamidah, tapi dia tak berani terang-terangan mengungkapkannya. Maryamah yang paham niat abangnya itu, tentu saja mendukung apabila Ucok mau mempersunting Hamidah. Selebihnya, tanpa Ucok tahu, Maryamahlah yang bekerja diam-diam menjajaki kemungkinan menjodohkan abangnya dengan Hamidah.
***

Kabin mobil pick up milik Herman sudah penuh dengan butir kelapa yang baru saja dipanen. Sambil beristirahat, Ucok dan Herman berbincang-bincang di beranda sambil menikmati kopi dan kretek. Tengah asik berbincang soal harga kopra, tiba-tiba perkutut Ucok berkicau nyaring dan membuat Herman terdiam dengan wajah terpukau.

“Burungmu itu dapat dari mana, Cok? Bagaimana kalau kau jual saja padaku?” Herman menjentik-jentikkan jarinya ke arah sangkar perkutut. Burung itu menjinjit ekornya dan meloncat-loncat lincah.

“Aku mendapat burung itu lewat mimpi,” kata Ucok dengan mimik wajah berpura-pura serius. Tentu saja cerita itu karangannya belaka, agar Herman makin terpesona pada perkututnya.
Herman memang penyuka burung, sebagai tauke kopra yang punya uang lebih untuk memuaskan hobinya, Herman mengkoleksi beragam jenis burung pekicau mahal. Setahu Ucok,  di antara kebanyakan burung pekicau, perkutut biasanya hanya dianggap burung pekicau biasa. Tidak ada yang istimewa. Ucok sedikit heran, apa sebenarnya yang dilihat Herman dari perkutut itu hingga ingin membelinya.

“Sudah, kau jual sajalah padaku. Berapa kau minta harga?” tanya Herman sekali lagi.

Ucok tertawa lepas, merasa jeratnya mengena. “Tak akan kujual. Ingin kupelihara sendiri saja.”

Herman mendengus kecewa mendengar jawaban Ucok. Menurutnya, perkutut itu bukan perkutut sembarangan. Dijelaskannya pada Ucok bagaimana istimewanya burung itu.

“Ini Perkutut Putih yang sudah lama kucari, Cok,” kata Herman serius. “Burung ini burung langka, banyak gunanya untukku. Salah satunya penolak bala dan lancar usaha.”

Ucok mengangguk-angguk, menyimak penjelasan Herman. Dia pernah mendengar tentang kepercayaan orang Jawa seperti yang disampaikan Herman, tapi Ucok tak percaya pada hal-hal seperti itu. Baginya, burung itu tak lebih dari burung biasa, yang kesasar masuk rumahnya. Sebenarnya, jika diminta pun, Ucok bisa saja memberikannya cuma-cuma, tapi melihat keseriusan minat Herman pada burung itu, timbullah niatnya untuk mematok harga.

“Kau serius ingin membelinya?” tanya Ucok setengah enggan untuk percaya. Semula dikiranya candaan tadi tak akan begitu serius ditanggapi Herman. Sudah kadung bersandiwara, lantas diteruskannya saja bualannya.

“Apa aku ini kelihatannya sedang bercanda?” tanya Herman sedikit sebal.
Ucok tertawa. Betul juga sanggahan itu, selama Ucok mengenal Herman, lelaki itu jarang betul berkelakar. Jadi, mendengar ucapannya tadi, dan mengingat kepribadiannya selama ini, tak ada celah bagi Ucok untuk meragukan ucapan Herman.

“Bukan begitu maksudku,” sanggah Ucok berpura-pura tak enak hati. Diseruputnya kopi di gelas sedikit, kemudian lanjut bicara, “aku sayang betul dengan perkutut itu. Terlebih usai mendengar penjelasanmu tadi. Aku merasa, sepertinya burung itu memang berjodoh dengan diriku, Man.”

Terbit rasa sungkan di wajah Herman mendengar pengakuan Ucok, namun tak cukup kuat untuk menepis rasa inginnya pada perkutut itu. Di dalam sangkarnya, burung itu berkicau lagi, lalu mematuk-matuk butir jewawut di wadah makannya. Herman mendesah kecewa, dirayunya kembali Ucok dengan sedikit nada menghiba.

“Ayolah, Cok,” bujuk Herman. “Tak akan murah aku menghargainya. Aku butuh betul burung ini. Sudah lama sekali aku mencari perkutut putih seperti ini.”

Giliran Ucok yang mendesah, diembusnya napas berat dan berpura berat hati menjawab tawaran Herman. “Aduh, bagaimana, ya?” kata Ucok unjuk raut bingung. Sandiwaranya betulan sempurna, hingga Herman menatapnya dengan penuh harap.

“Sebutkanlah harganya, Cok,” desak Herman tak sabaran. “Asal jangan kau minta miliaran, tak ada uangnya aku.”

“Baiklah,” kata Ucok setelah berpikir-pikir sejenak. “Burung itu kujual padamu, tapi terus terang saja, aku ingin mahal.”

“Berapa? Wajah Herman berubah gembira. “Lima belas juta, bagaimana?”

Nyaris tersedak Ucok mendengar angka yang disebutkan Herman. Tak dikiranya angka yang disebut akan segila itu. Lima belas juta bukanlah angka yang sedikit. Perlu lima atau enam kali panen agar dia bisa punya uang sebesar itu. Dalam pikirannya, Ucok berangan-angan, mungkin inilah rejekinya untuk biaya menyunting Hamidah. Seketika bungah hati Ucok, perkutut nyasar itu seolah dikirim untuk memecah persoalannya.

“Baiklah, kulepas padamu. Lima belas juta,” jawab Ucok dengan suara bergetar karena masih diliputi rasa tidak percaya.

“Tiga hari lagi, aku bawa duitnya, sekalian membayar kelapa yang hari ini kaujual,” ucap Herman serius. “Lima belas juta, ya. Jangan naik lagi. Jangan pula kaujual ke orang lain.”

Ucok mengangguk. Dalam hati dia mengucap hamdalah berpuluh-puluh kali. “Aku tunggu,” jawabnya berusaha menekan air muka senang yang mengembang di kedua sudut bibirnya. Dalam hati Ucok bersorak gembira, uang sebesar itu tentulah cukup untuk menambah biaya menikah dengan Hamidah.
***

Pucuk cinta ulam pun tiba, pada suatu siang yang tak terlalu panas, sebab hujan baru saja reda, Maryamah menyampaikan kabar gembira. Kata Maryamah, orangtua Hamidah meminta Ucok datang segera. Mereka bersedia menerima lamaran Ucok, asal Ucok langsung menikah dengan Hamidah. Jangan ditunda-tunda, katanya, dan Ucok pun bersetuju.

“Besok aku ke sana. Hari Minggu kau kan tak mengajar. Biar kau yang jaga rumah sebentar, aku takut Herman datang sementara aku ke rumah orangtua Hamidah.”

Esok paginya, selepas salat Zuhur, pergilah Ucok ke rumah Hamidah, menautkan tali niatan untuk meminang gadis itu ke orangtuanya. Bekal modal sudah tersedia, tinggal mencocokkan saja, kapan Hamidah dan keluarganya siap melangsungkan pernikahan mereka.

Bada Asar, Ucok pulang. Di sepanjang jalan, senyum lelaki itu merekah. Waktu pernikahannya dengan Hamidah telah disepakati sebulan lagi. Besar mahar yang dipinta orangtua Hamidah cukuplah ditutupi dengan uang dari pembayaran perkutut keberuntungannya.

Ketika sampai di pangkal tangga rumahnya, jantung Ucok kebat-kebit. Rasa tak enak membungkus perasaannya. Di beranda dia melihat Maryamah sedang menurunkan sangkar perkututnya. Tergopoh-gopoh Ucok menaiki tangga, untuk melihat perkutut kesayangannya.

“Perkututkuuu!” jerit Ucok pilu dan jatuh pingsan diiringi tatap kebingungan Maryamah.

Di dalam sangkarnya, perkutut itu tergeletak kaku. Maryamah mengingat-ingat apa yang membuat burung itu mati. Tadi selepas Ucok pergi ke rumah orangtua Hamidah, dia beres-beres dan menyemprotkan racun nyamuk ke dekat sangkarnya. Kemungkinan racun itu masuk ke wadah air minum dan membuat burung itu mati keracunan. (*)