Rabu, 11 Juli 2018

Jeruji, dimuat di Harian Rakyat Sultra, edisi 22 Juni 2018

Aku sebentar lagi jadi hantu, hantu yang menyaru bersama angin malam yang diam-diam menyusup di sela jeruji berkarat ini. Aku kesepian dan hanya berteman gemeritik kaki tikus yang berlarian di atas plafon. Entah, sudah berapa manusia yang menunggu mati dan kesia-sian di ruangan ini. Menanti maut menjemput dalam detik-detik yang terasa begitu lama.

Angin  menggidikan kembali berembus semilir, merabai tiap jengkal tubuhku yang berbalut selimut usang berlubang-lubang. Ah, aku ingat dulu, angin pun berembus semilir seperti ini. Di pematang sawah aku menikmati desir angin yang menyejukan pori-pori. Gunung Mekongga menjulang kebiruan di kejauhan. Begitu damai dan begitu syahdu suasana itu. Namun suasana damai itu jauh berbeda dengan rasa yang ada di hatiku.

Aku ingin mengubah nasib!” jeritku kala itu.

Aku pilu menatap tubuh tua yang lengkung dan berkecipak dengan lumpur itu. Didera hujan panas demi menghidupiku. Aku capek bernapas dalam ikatan kuat tali-temali kesengsaraan dan terkotak-kotak dalam kemiskinan. Terhina dan selalu dipandang sebelah mata.

“Mak tak melarangmu, Nak. Mak masih sanggup jika hanya untuk makan kita berdua,” ucap Mak menggoyah tekadku kala itu. Kamu bisa minta pekerjaan pada Pak Linto jika hanya ingin membantu Mak. Kemarin dia menemui Mak di sawah."

Aku tersentak. Kutoleh cepat wajah yang sedang meniup tungku api itu. Wajah  keriput yang berselemong jelaga dari tungku yang ditiupnya sekuat tenaga.

“Buat apa dia menemui Mak? tanyaku menyelidik.

Aku punya firasat tak enak. Batinku berkata, ini pasti tak jauh dari niat mesum terselubung. Aku sudah bisa menangkap itu dari tatapan lelaki tua itu. Tatapan mata yang seolah ingin menelanjangi tubuhku. Lelaki tua yang punya setengah lusin bini, namun selalu mencari kehangatan pada gadis-gadis muda di desa Lambakara.

“Dia berkata ingin mempekerjakanmu di rumahnya. Tapi itu juga kalau kamu mau."

Dasar tak tahu diri!” umpatku dalam hati.

Aku mendengus. Benci menyeruak dalam hatiku, menggeliat dan keluar dari batang tenggorokanku menjadi hardikan. “Pak Linto manusia bejat itu, Mak? Huh! Dia berpura-pura menawarkan kebaikan, tapi setelah itu kita harus membayar dengan apa yang kita punya. Aku tak sudi bekerja pada orang seperti itu!”

“Tapi, Nak. Mungkin hanya dengan itu hutang mendiang bapakmu bisa dianggap lunas,” Mak menatapku tajam,mungkin hanya dengan itu pula kita bisa mengambil sawah kita yang telah tergadai kepadanya.”

Aku terdiam. Pernyataan Mak menohok ulu hatiku. Membuatku lemah seketika. Yah, semua memang salahku. Akulah penyebab tergadainya sawah itu pada Pak Linto. Demi sekolahku, Bapak menggadaikan sawah itu. Jika saat ini Mak mengatakan hal itu, tentu saja tak salah, karena mungkin dalam benak Mak cara itulah yang bisa membuatnya terbebas dari jerat piutang pada Pak Linto. Tapi aku tidak, aku masih punya cara lain.

“Kita masih ada cara yang lain, Mak. Cara yang tadi aku sampaikan kepada Mak. Aku yakin aku mampu mengubah nasib kita. Mak harus percaya padaku.“ Aku berusaha merongrong rasa percaya Mak agar keinginanku bisa mendapat restu. Kutatap raut wajah renta itu dan berharap akan meluncur kata-kata yang akan mengamini permintaanku. Permintaan yang entah sudah keberapa kalinya kuucapkan.

Mak menghela napas dan memandangku, “Baiklah, jika itu maumu. Mak tak bisa menahanmu, Mak hanya berharap itu keputusan yang terbaik untukmu.” Pedih dan lirih suara Mak. Kalimat itu menyudahi penantianku. Tersirat ketidakrelaan di pelupuk mata keruhnya. Tapi tekadku mengalahkan semuanya. Aku harus bisa membuat  kemalangan ini menjadi kebahagiaan.

Ini demi Mak," bisik hatiku berpuluh-puluh kali.

“Hati-hati di sana, Nak. Mak hanya bisa berdoa. Semoga kamu selalu dalam lindungan-Nya,” ucap Mak tersedu-sedu.

Di hari perpisahan itu, Mak menangis seraya memelukku erat sekali. Kubalas pelukan Mak. Tak kuasa kutahan air mataku. Tak kuasa pula aku berucap. Entah ke mana perginya gelora semangat ketabahanku selama ini. Entahlah, saat itu aku merasa benar-benar rapuh. Rapuh dalam dekapan Mak yang menangisi kepergianku. Dekapan dan tangisan yang terakhir kalinya untukku.

Sebulan di karantina, aku akhirnya diberangkatkan juga. Petugas PJTKI yang mengirimku mengatakan, aku akan bekerja di Arab Saudi, menjadi Pembantu Rumah Tangga, katanya. Aku bersorak bahagia. Buliran air mata menetes di pelupuk mataku seiring pesawat tinggal landas meninggalkan tanah air. Saat itu aku cuma ingat wajah Mak, wajah renta yang akan kutinggalkan di bumi Kendari, bumi Kota Lulo yang kucintai.

Hari itu kujejakan kakiku di beranda rumah megah itu. Aku sama sekali tak merasa kesulitan beradaptasi dengan iklim Arab saudi yang menyengat. Segala urusan rumah tangga kukerjakan sepenuh hati. Pelatihan selama di karantina sangat berguna. Sama sekali tak ada yang tak wajar kala itu. Hari-hari kulalui dengan bekerja dan bekerja. Hubungan dengan majikan pun kurasa berjalan biasa saja. Hingga malam petaka itu pun mengubah segalanya.

“Tuan Mahmud. Apa yang tuan lakukan?”
Aku terkejut. Aku menjerit sekuat-kuatnya. Aku tak tahu sejak kapan Tuan Mahmud ada dalam kamarku. Tubuhnya yang tinggi besar itu menindihku. Aku meronta, memukul, menendang. Tapi, semua itu tak melonggarkan cekalannya pada tanganku. Sebuah tamparan keras membuat pandanganku berkunang-kunang. Dengan sisa tenaga aku masih mencoba melawannya.

“Ya Allah, tolong aku...,“ lirihku tak berdaya.

Tak ada lagi pemberontakan. Aku lemah, tenaga perlawananku habis sudah. Masih sempat kurasakan jahanam itu merobek-robek pakaianku. Dalam ketidak berdayaan itu, masih dapat kudengar deru napas binatangnya menjelajahi lekuk tubuhku. Hingga rasa sakit yang tak terperi itu akhirnya menerbangkan kesadaranku. Hening, pekat, senyap seperti mati. Andai saja aku mati, mungkin lebih mudah bagiku ketika itu.
Pagi harinya, aku terjaga. Remuk redam sekujur tubuhku. Bilur-bilur lebam penuh menyeluruh. Rasa perih di selangkanganku membuatku menangis sejadi-jadinya. Bercak darah tercecer di sprei ranjang. Darah kehormatan yang direnggut paksa oleh kebiadaban nafsu iblis yang durjana. Pemerkosaan malam itu telah membantai habis mimpi-mimpiku.

“Mak ... ” Sepatah kata itu saja yang mampu terucap. Selebihnya hanya isakan-isakan tiada arti. Rupanya impian dan keinginan memang tak selalu berakhir sesuai dengan harapan. Tak ada lagi rencana-rencana indah yang menggelayuti kelopak mataku. Tak ada lagi mimpi-mimpi indah tentang aku dan Mak. Sekarang semuanya berubah, yang ada hanya dera siksa jiwa dan raga. Aku terkurung seperti binatang hina dalam kegelapan rasa takut dan ancaman. Aku menjadi budak nafsu dari manusia bejat bersyahwat iblis.
***

Aku tertawa. Gelombang suaraku memantul menyeramkan di lorong angker tembok berjeruji ini. Tawa yang persis suara setan yang sebentar lagi akan  menjadi sahabat karibku. Aku menertawakan nasibku. Menertawakan azab yang menimpaku. Entahlah, mungkin sekarang aku gila. Gila, karena pasrahku pada kezaliman yang menimbuniku seolah aku sang pendosa besar yang tak layak diperhatikan.

“Pernahkah kalian renungkan alasanku?”

“Pernahkah kalian rasakan sakitnya diperkosa kemanusiaanmu?”

“Pernahkah kalian tahu betapa mulia impianku?”

“Pernahkah kalian tahu semua itu?”

"Pernahkah?"

“Memang, kalian tak akan pernah tahu!"

“Kalian hanya segumpal daging hina yang tak akan pernah tahu apa itu derita!"

“Kalian hanya dapat tertawa!"

"Kalian tersenyum saat menyematkan kata istimewa bahwa kami adalah pahlawan Devisa!"

“Namun kalian lupa jika kami teraniaya, diperkosa, disetrika, dilecut, diinjak-injak hanya demi dua kata: Hidup layak.”

“Kalian melengos membuang muka!"

“Cuma kata-kata keprihatinan!"

“Cuma ucapan bela sungkawa!"

“Cuma uang kerohiman yang jumlahnya tak seberapa!"

“Katanya untuk biaya pemakaman. Menjamu tamu yang datang untuk tahlilan dan yassinan!"

“Namun, tak pernah ada bentuk nyata untuk memperjuangkan hak-hak para pengisi lumbung devisa yang kerap kalian curi itu!"

"Kalian lebih biadab dari para bangsat yang membunuhi hak-hak kami!"

Betapa terang dalam ingatanku pada malam terkutuk yang terakhir itu. Telah kusiapkan pisau dapur sangat tajam. Pisau yang telah kuasah sepenuh hati. Pisau yang kutaruh rapi di bawah bantalku. Niatku sudah bulat, Tuan Mahmud harus mati.

Kutunggu dengan perasaan mencekam. Daun pintu kamarku berderit, sama seperti malam-malam sebelumnya. Sosok iblis itu datang lagi. Kupejamkan mataku rapat-rapat, kuselipkan tanganku di bawah bantal, kugenggam erat pisau dapur itu seolah pisau itu malaikat pelindungku.

Aku mulai merasakan tangan laknat itu menyusuri betis dan pahaku. Seperti malam-malam terkutuk sebelumnya. Aku tetap membeku, tak bereaksi. Tak lama tubuh pun dibaliknya. Perlahan dia mulai menaiki tubuhku. Saat itulah kuayunkan secepat kilat pisau yang sedari tadi ada di genggamanku.

Pisau tajam itu menancap tepat di lehernya. Teriakan tertahan menggema di malam buta. Semburan darah keluar dari kulit lehernya yang robek menganga. Kutendang sekuat-kuatnya tubuh manusia durjana itu. Terguling dan rebah dia di sampingku.

Seringai kematian di wajah itu membuatku bahagia. Kuludahi wajahnya yang tengah meregang nyawa, lalu kugorok batang kehidupannya. Bersama bau anyir dan genangan darah di sela-sela jemariku. Aku mendengar jutaan suara mencaci maki.

“Pembunuh!”

“Biadab!”

“Jananam tempatmu!”

“Betina jalang!”

"Ah! Persetan!”

Aku tak peduli, jika kini aku adalah sang binatang. Aku puas, setidaknya dengan cara itu penderitaanku berakhir. Duniaku tentu saja runtuh kala itu. Kalau saja boleh meminta, aku hanya  ingin bertemu dengan Mak. Aku ingin bersujud meminta ampun kepadanya, memeluknya, dan menyesal karena tak mendengar nasehatnya. Namun pinta manusia berdosa sepertiku mana ada pengabulannya? Aku benar-benar terlunta menunggu mati di negeri ini.

Aku orang yang terbuang. Tiap menit, tiap detik hanya Mak yang ada di benakku. Siapa yang akan menemani tidur Mak? Siapa yang akan menyelimuti Mak di malam dingin yang menggigit? Sanggupkah Mak hidup sebatang kara tanpa aku?  Tahukah Mak, jika sekarang tak akan ada lagi aku, Mak?
Aku yang selalu setia mengantar makanan untuk Mak di sawah kita yang cuma sepetak. Aku yang senang bersenandung sambil menampi bulir padi yang baru dituai. Aku yang selalu memijat punggung Mak sampai Mak tertidur lelap. Namun, kini tak akan ada lagi aku, Mak, tak akan ada lagi, karena beberapa jam lagi aku akan di hukum mati. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar