Minggu, 24 September 2017

Parang Ulu. Dimuat di Media Indonesia edisi Minggu,13 Nov 2016

Ruangan persegi berdinding papan itu hening. Keheningan merambati foto-foto usang dan rak kayu yang dipenuhi kitab-kitab tebal berdebu. Di dalam ruangan itu, Kiai Hambali duduk berhadapan dengan seorang lelaki tambun. Lelaki tambun itu berdiri, lalu berjalan ke arah rak kayu. Ia mengambil satu kitab dan membukanya. Tiga lelaki muda berdiri tak jauh dari Kiai Hambali. Pandangan mata mereka mengikuti gerak tubuh lelaki tambun dengan waspada.
“Pondok ini sudah sepi, percuma saja dipertahankan,” kata lelaki tambun sambil mengembalikan kitab ke tempat semula.
“Aku akan merundingkan hal ini terlebih dulu,” jawab Kiai Hambali tenang.
“Berunding dengan siapa?” tanya lelaki tambun. Ia kembali duduk di samping Kiai Hambali.
“Dengan para santriku,” jawab Kiai Hambali.
Lelaki tambun bermata sipit itu mendelik, lalu tergelak, “Santri yang mana, Kiai? Mereka bertiga?” telunjuknya mengarah pada tiga pemuda di belakang Kiai Hambali.
“Kuharap kau mau menunggu.” Kiai Hambali mengacuhkan tawa lelaki tambun di hadapannya. “Beri kami waktu.”
Lelaki tambun menghela napas sambil mengangkat bahu, “Baiklah. Tapi kami tak punya banyak waktu. Semakin lama proyek ini tertunda, semakin besar denda yang kami terima. Aku harap Kiai bisa mengerti.”
Kiai Hambali tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dan ikut berdiri. Setelah berbasabasi sebentar, lelaki tambun itu pergi. Ia pergi meninggalkan jejak lebam di dada Kiai Hambali. Lelaki senja itu tahu, ada kekuatan cukup besar di belakang lelaki tambun itu. Kekuatan yang tak mungkin dilawannya seorang diri.
Jauh-jauh hari sebelum kedatangan lelaki tambun  , Kiai Hambali sudah tahu bahwa semua ini pasti akan terjadi. Pembangunan sedang gencar dilakukan di kampung Parang Ulu, lahan persawahan dan tegalan milik warga sudah banyak yang disulap jadi pasar dan kantor-kantor swasta. Tempat hiburan dan toko-toko mulai menjamur. Singkatnya, kini kampung Parang Ulu sedang menggeliat dan terus menerus tumbuh dengan melahap apa saja.
“Apa pilihan yang kita miliki, Kiai?” tanya Umar, salah seorang santri yang paling lama belajar pada Kiai Hambali.
“Tidak ada.” Datuk Hambali mengusap janggut dengan jari-jari keriputnya. Ia melangkah ke jendela dan menumpukan tangan ke kusen. Mata lelaki tua itu mengembara ke awan-awan kapas di puncak langit, sementara benaknya terus mencari cara untuk bertahan. Tiga lelaki muda di belakangnya turut memandang ke luar jendela. Pandangan mata mereka persis sama—sama-sama menuju ke langit luas. Namun pandangan itu mati. Buntu. Seperti membentur tembok tinggi yang tak kasat mata.
“Mungkinkah ini perwujudan sumpah Serunting Sakti .... “ gumam Zarnawi, salah seorang santri yang bertubuh paling subur dan paling muda.
“Kau percaya hikayat itu?” tanya Burhan. Usianya kira-kira seumuran dengan Zarnawi. Sama-sama dua puluh lima.
“Entahlah,” jawab Zarnawi. “Tapi aku percaya satu hal ...”
“Apa itu?” tanya Burhan.
“Aku percaya jika dada lelaki tambun tadi berlubang. Lubang yang tak akan pernah sesak meski seisi dunia dijejalkan ke dalamnya,” jawab Zarnawi. Burhan terdiam.
Lalu keheningan kembali merambat. Wajah Kiai Hambali sekuyu warna putih yang melekat di kursi yang di dudukinya. Ketiga pemuda itu pun turut duduk. Kursi mereka tersekat sebuah meja beraroma cendana. Di meja itulah selama ini mereka mengkaji ilmu Al-Quran, hadits, fiqih, akidah, akhlak, faraidh, hingga isi kitab kuning—sebuah kegiatan yang mungkin hanya akan menjadi kenangan beberapa minggu atau mungkin beberapa hari lagi.
“Kiai, benarkah hikayat itu pernah terjadi?” tanya Umar memecah keheningan.
“Mungkin kita telah sampai di akhir zaman, Umar. Hikayat itu sudah lama dilupakan orang, untuk apa meminta Kiai menceritakannya lagi,” celetuk Zarnawi.
Kiai Hambali tersenyum kecut, tetapi ia mengangguk juga. Ia bersetuju dengan kata-kata Zarnawi. Hikayat sarat nasihat hanyalah pembasah bibir yang lekas mengering ditiup angin. Kini, jangankan hanya pada sebuah hikayat, bahkan pada hadits ataupun kitab suci saja, orang-orang sudah tidak takut lagi.
Di balik dinding bangunan rapuh itu, Kiai Hambali dan ketiga santrinya tertunduk lesu. Alotnya perdebatan dengan lelaki tambun tadi telah melempar ingatan mereka pada hikayat yang tak bisa terkelupas dari kampung Parang Ulu. Hikayat tentang pertarungan iblis dan malaikat yang memang pernah terjadi di masa lalu.
***

Dahulu, kampung Parang Ulu adalah kampungnya orang-orang gelap. Kampung itu berada di pedalaman Sumatera, dipeluk rimbun Bukit Barisan dan digelungi seutas sungai yang bermuara ke sungai Musi. Kesan angker terpahat di benak siapa saja yang mendengar namanya. Namun semenjak kedatangan Syekh Ali, kegelapan itu perlahan-lahan memudar. Seperti malam disibak cahaya fajar.
Tidak ada yang tahu riwayat Syekh Ali. Simpang siur kisah menyebut ia datang dari Malaka, sebagian lagi menyebut ia datang dari kerajaan Siak Sri Indrapura. Semua tentang Syekh Ali hanya melekat pada seonggok makam tua dan sekelumit kisah yang hidup di balik tempurung kepala orang-orang.
Para begundal selalu mengganggu dakwah Syekh Ali dengan segala cara. Mulai dari gangguan paling halus, hingga paling kasar. Namun sebagai musafir, Syekh Ali tentu saja memiliki bekal ilmu yang tidak sedikit. Gangguan-gangguan itu mampu ia bungkam satu persatu. Puncak dari gangguan itu datang dari Serunting Sakti. Dedengkot begundal kampung Parang Ulu itu menantang Syekh Ali bertarung di bukit Mategelung, bukit wingit di sebelah selatan kampung Parang Ulu.
Maka pada suatu malam yang diguyur hujan lebat, terjadilah pertarungan sengit itu. Pertarungan hidup mati yang diwarnai jual beli jurus-jurus kanuragan tingkat tinggi. Bukit Mategelung bagai dilanda topan prahara, pohon-pohon tumbang, tanah dan batu beterbangan. Saking dahsyatnya, bukit Mategelung seolah hendak terbongkar dari kulit bumi.
Memerlukan waktu tujuh hari tujuh malam untuk menentukan pemenang. Serunting Sakti memiliki ilmu kebal yang membuatnya tak bisa mati. Namun dengan karomah pada dirinya, Syekh Ali mampu menaklukkan Serunting Sakti. Gembong begundal itu melarikan diri dengan membawa malu tak terpermanai. Namun sebelum menghilang, Serunting Sakti mengucap satu sumpah, bahwa suatu hari ia akan kembali dan membuat celaka orang-orang di kampung Parang Ulu.
Selepas kepergian Serunting Sakti, tidak ada lagi kegelapan. Syekh Ali menyalakan suluh yang pendarnya menuntun orang-orang menuju jalan kebaikan. Di pinggir kampung, tepatnya di kebun jati tak bertuan, suluh itu ia pancangkan. Ia membangun sebuah pondok tempat mengaji untuk anak-anak kampung Parang Ulu.
Dahulu, tak ada satu keluarga pun yang tak memerintahkan anaknya belajar di pondok Syekh Ali. Hikayat Syekh Ali dan Serunting Sakti menjadi tunggul kepercayaan, bahwa hanya di sana, di pondok sederhana itu saja, sumpah Serunting Sakti tak memiliki taji untuk membuat anak-anak mereka celaka.
***

Lapangan rumput yang ditumbuhi tiga batang pohon tanjung itu riuh. Di tengah-tengahnya, Kiai Hambali berhadapan dengan lelaki tambun. Lelaki tambun tidak sendiri, ada sekitar selusin lelaki berseragam di belakangnya. Kiai Hambali juga tidak sendiri, ada tiga lelaki muda di belakangnya. Pandangan mata mereka sama tajam. Sama menikam.
“Bangunan ini tak memiliki izin resmi. Tanahnya milik negara dan kalian tak memiliki bukti kuat untuk mempertahankannya.”
“Tanah ini milik Tuhan. Kami sudah menempatinya atas izin Tuhan. Apakah itu tak cukup bagi kalian untuk membiarkannya tetap berdiri?”
Lelaki tambun terkekeh mendengar kata-kata Umar dan mengacuhkannya. Ia membuka tas di pinggangnya dengan tenang. “Uang ini sebagai ganti rugi. Terimalah, Kiai.”
“Anak-anak kampung ini membutuhkan tempat untuk belajar agama. Daripada menggantinya dengan tempat yang tak bermanfaat, ada baiknya kalian bantu kami membawa mereka kembali ke sini.”
“Menyerahkan tanah ini berarti bersedekah, Kiai. Tanah ini juga dibangun atas permintaan umat,” jawab lelaki tambun seraya tersenyum. Namun di mata Kiai Hambali, senyum itu menyiratkan watak yang rakus. Ia tak bisa melihat kejernihan di sana. Sorot mata itu memancarkan kegelapan yang sempurna.
“Aku tak bisa memenuhi permintaanmu. Maafkan aku. Mungkin kalian harus mencabut nyawaku dulu jika memang ingin merobohkan pondok ini.”
“Baiklah,” kata lelaki tambun seraya memasukkan kembali uang ke dalam tas. Otot di rahangnya menegang. Ada amarah yang tergambar jelas di wajahnya. “Kami akan kembali seminggu lagi.”
Lelaki tambun pergi diikuti selusin lelaki berseragam di belakangnya. Kiai Hambali memandangi punggung mereka dengan dada bergemuruh. Ia bisa merasakan hawa jahat pada kalimat terakhir itu. Kiai Hambali memejamkan mata dan diam-diam memanjatkan doa penolak bala.
***

Sore itu, selepas tunai salat Ashar, sebuah mobil hitam dan serombongan alat-alat berat memasuki pelataran pondok. Kiai Hambali dan tiga santrinya keluar dengan tergopoh. Puluhan lelaki bertubuh tegap dan berseragam sigap menghadang. Kiai Hambali dan ketiga santrinya menjadi bulan-bulanan ketika berusaha menghentikan gerak alat-alat berat yang beringas.
Dengan mata yang lamur oleh genangan darah, Kiai Hambali berbaring di rerumputan dengan hati pedih. Mata lelaki senja itu pelan-pelan mengatup, namun sebelum betul-betul terkatup, ia melihat lelaki tambun keluar dari mobil hitam sambil tersenyum. Namun di mata Kiai Hambali, senyum itu tampak gelap dan jahat. Seolah-olah itu adalah senyum kemenangan Serunting Sakti yang kembali ke kampung Parang Ulu. (*)

Parang Ulu Puluh, Ahad, 2 Dzul-Hijjah 1437

Dunia di Dalam Labu. Dimuat di Suara NTB edisi Sabtu, 26 Apr 2017.

Ned sedang bersembunyi dari kejaran Tante Rosana, saat tak sengaja kakinya terantuk sebuah labu. Labu itu tergolek di perkarangan belakang, dekat gerumbulan semak berry. Ukurannya sebesar bola basket. Kulitnya keras dan berwarna kuning bercak-bercak putih. Awalnya Ned sama sekali tidak tertarik, tapi saat dia bermaksud memegang labu itu, tiba-tiba tubuhnya tersedot sesuatu!
“Kenapa aku bisa ada di tempat ini?” tanya Ned kebingungan.
Ketika membuka mata, Ned ada di sebuah tempat yang mirip wahana permainan. Ada roller coaster, komidi putar, ayunan, boneka-boneka, dan beragam jenis permainan lainnya. Di tempat itu banyak anak-anak yang hampir seusia dengan Ned.
“Kau sendiri yang masuk ke sini, kenapa bertanya?” jawab anak  yang rambutnya keriting, pipi dembil kemerahan, bola mata biru dan tingkahnya aktif sekali. Ia mengenalkan namanya Romario.
“Aku tiba-tiba saja ada di sini. Oh ... aku tak bisa berpikir ... aduh, aku bingung sekali ....” ucap Ned hampir menangis.
“Anak kecil tidak seharusnya banyak berpikir. Kau tidak perlu bingung. Bermainlah sepuasmu. Di sini banyak wahana yang bisa membuatmu bahagia.”
“Tidak,” sahut Ned. “Aku ingin keluar. Tunjukkan padaku jalan keluar.”
Romario memandang Ned dengan heran. “Bukankah di sini menyenangkan?”
Ned memandang sekitar dengan wajah murung. “Di sini memang menyenangkan, tapi aku takut Tante Rosana marah lagi jika aku tak pulang.”
“Bukankah kau memang melarikan diri darinya? Seharusnya kau senang.”
Kelopak mata Ned melebar, “Bagaimana kau tahu? Apakah sebelumnya aku sudah menceritakannya padamu?”
“Memang tidak ... ehm, maksudku belum. Tapi setiap anak yang masuk ke sini pasti karena persoalan yang sama. Jadi tebakanku, kau pun pasti sama.”
Ned mendelik, “Maksudmu aku sedang berada di dalam labu?”
Romario menyeringai, “Pikirmu di mana?” jawabnya memonyongkan bibir.
Mata Ned terbeliak, “Apa? Oh tidak! Tidak! Aku tak bisa berada di sini. Aku harus keluar! Bantulah aku! Aku ingin keluar! Adakah caranya?” tangis Ned  pecah.
“Tentu saja,” sahut Romario santai.
Ned memegang tangan Romario dan memohon, “Tolonglah,” katanya terisak.
“Baiklah,” jawab Romario. “Tapi kau harus hapal mantranya terlebih dulu.”
“Ajarkanlah padaku,” ucap Ned dengan tatapan mata memohon.
Raut wajah Romario tiba-tiba berubah serius, “Mantra itu hanya berguna satu kali, jika kau masuk lagi ke labu ini, kau tidak akan keluar selamanya.”
Ned diam dan tampak bimbang.
“Pikirkan saja lagi. Aku takut kau menyesal. Saranku, puaskanlah dirimu di tempat ini. Di sini semuanya ada dan apa yang kau mau pasti tersedia. Tak ada tempat untuk kesedihan di sini.”
Ned mulai terpengaruh kata-kata Romario. Tapi jika dia tidak keluar dari labu, pasti papa akan mencarinya. Ned belum berpamitan. Dia harus keluar dulu untuk menemui papa. Jika harus masuk lagi ke dalam labu dan tidak keluar, Ned mau, asal sudah bertemu papa.
“Kau sudah memikirkannya?”
Ned menghela napas dan mengembuskannya kuat-kuat.
“Bagaimana?”
“Aku sanggup. Jika aku harus masuk lagi ke labu ini, setidaknya aku sudah berpamitan pada papa.”
“Baiklah.”
Romario kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Ned dan Ned mengangguk. “Ingat ya, mantra itu hanya berguna satu kali. Jika nanti kau berubah pikiran dan berniat masuk lagi ke dalam labu, kau harus betul-betul yakin, sebab seperti kataku tadi, kau tidak akan keluar setelah masuk ke sini dua kali. Dan ini yang paling berbahaya...”
Romario sengaja menggantung kata-katanya. Ned gelisah. “Apa itu?” tanya Ned sedikit takut.
“Jika labu ini hancur, kau akan kehilangan jiwa kanak-kanakmu. Kau akan menjadi monster.” Romario menekan kata-katanya hingga terdengar menyeramkan.
Ned tertegun. Ia memikirkan kata-kata Romario.
“Kau masih yakin ingin kembali?” Mata Romario berkilat aneh.
Keraguan sejenak menyeruak dari dalam hati Ned, namun tidak lama, sebab bayangan papanya melintas lagi. “Aku harus kembali. Iya, aku harus kembali,” jawab Ned yakin.
Ned mengucapkan mantra yang diajarkan Romario sambil memejamkan mata. Dia merasakan tubuhnya melayang dengan kecepatan sangat tinggi. Ned ingin membuka mata, tapi tadi saat berbisik padanya, Romario mengingatkan jangan membuka mata sebelum mencium aroma kamarnya.
Ned membuka mata dan dia sudah berada di kamarnya. Bagaimana hal itu terjadi, Ned tidak mau memikirkannya. Dia hanya ingin cepat-cepat menyembunyikan labu itu di bawah ranjang. Tadi Romario mewanti-wanti agar labu itu disimpan di tempat yang paling rahasia. Jika ada yang menghancurkan labu itu, maka ada sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Sesuatu yang mengerikan itu tergambar di bola mata Romario yang berubah semerah bara.
***

Hari ini hari yang buruk untuk Ned. Tante Rosana kembali membuatnya meringis menahan tangis. Penyebabnya sepele; Ned lupa mematikan kran air. Air dari dalam bak penampungan membanjiri sebagian lantai dapur. Seingat Ned, dia sudah mematikan kran air itu dan tak mengerti kenapa air bisa membanjiri dapur. Itu sebetulnya tidaklah seberapa jika sesudahnya Papa tidak terpeleset dan kepalanya membentur pinggiran bak.
“Dasar anak pembawa sial. Setiap gerakmu selalu membawa bencana!”
Hardikan Tante Rosana yang disertai pukulan tangkai sapu ke betis tidaklah sesakit saat Ned mendengar kata-kata dokter; Papa koma dan butuh keajaiban untuk bisa bangun. Seketika itu Ned merasakan kebenaran kalimat Tante Rosana; dia memang anak pembawa sial. Ned menyesali kecerobohannya. Dia yang membuat papa berada di antara hidup dan mati seperti ini.
***

Suster mengantar Ned keluar dari kamar rawat papa. Sekali lagi Ned menoleh. Diperhatikannya kening Papa yang terbalut perban. Luka itu adalah kesialan terakhir yang dia lakukan. Ned mengucapkan janji, dia tak akan membuat papa celaka lagi.
“Papa akan baik-baik saja 'kan, Suster?”
“Papamu tidak akan apa-apa. Dia hanya butuh istirahat.” Suster cantik itu membelai kepala Ned. “Sekarang biarkan papamu beristirahat.”
“Suster, tolong jaga papaku,” ucap Ned murung. Dia lalu berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan penuh kesedihan. Ned sudah mengambil sebuah keputusan. Dia akan kembali ke dalam labu dan tak akan keluar selamanya. Di belakang Ned, Suster cantik itu menatap punggungnya dengan iba.
Sesampainya di rumah, Ned melihat sebuah mobil terparkir di dekat pagar. Itu bukan mobil yang biasa dikenalnya. Ned hampir mengenali mobil orang-orang di komplek itu. Mobil itu bukan pula mobil teman-teman papa, bukan mobil teman-teman Tante Rosana. Setengah berjinjit, Ned mendekat. Dia menjulurkan kepala dari daun pintu yang sedikit terbuka. Lamat-lamat Ned mendengar sebuah percakapan.
“Semua sudah kuurus. Tidak ada yang perlu kita cemaskan.”
Dari balik pintu, Ned melihat Tante Rosana sedang berbicara dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu membelai dagu Tante Rosana. Ned tidak memahami ucapan mereka. Ia juga baru pertama melihat laki-laki itu—laki-laki yang membelai dagu Tante Rosana selain papa. Ned seharusnya telah pergi jika sepatunya tidak terantuk pot dan mengeluarkan bunyi 'krotak' yang menarik perhatian.
“Aku selalu sial,” keluh Ned.
Suara gaduh membuat Tante Rosana dan laki-laki di sampingnya menoleh. Ned berdiri kaku di ambang pintu. Mereka bisa langsung menduga, Ned telah mencuri dengar pembicaraan mereka. Tante Rosana melotot melihat kehadiran Ned dan laki-laki di sampingnya menyeringai.
“Pergilah dari sini, Sayang. Biar aku yang menyingkirkan anak itu sekarang.” Serak suara Tante Rosana terdengar jelas di telinga Ned. Laki-laki itu berdiri dan pergi. Saat laki-laki itu berjalan di samping Ned, Ned bisa mencium aroma tubuh Tante Rosana pada tubuh laki-laki itu.
Sepeninggal laki-laki tadi, Tante Rosana berjalan menghampiri Ned yang masih terpaku di ambang pintu. Beberapa detik tatapan mereka beradu. Ned merasa terancam. Di matanya, Tante Rosana kembali berubah menjadi monster jahat berwajah menakutkan.
Ned berlari sebelum tangan perempuan itu menelikung tubuhnya. Tante Rosana menggeram dan mengancam akan memukul. Ned berlari ke kamar dan mengunci pintu. Ned menggigil di sudut kamar. Tidak ada lagi tempat untuk berlari, tak ada lagi tempat untuk bersembunyi, kecuali ... kecuali labu!
Gedoran disertai terjangan akhirnya bisa membuka pintu kamar Ned. Tante Rosana unjuk wajah beringas. Matanya nyalang mencari ke setiap sudut, tapi tubuh kecil itu tidak ditemukan.
“Keluarlah kau berandal cilik,” desis Tante Rosana kesal.
Mata perempuan itu berkilat. Dia melongok ke bawah ranjang kemudian mengumpat. Tidak ada Ned di sana kecuali sebuah labu. Tante Rosana meraih labu tersebut dan melampiaskan amarahnya. Dia membanting labu ke lantai hingga isinya pecah berantakan.
Tante Rosana berteriak dengan muka pucat bagai tak berdarah. Dia menyaksikan Ned dan puluhan anak-anak berloncatan dari dalam labu yang pecah. Puluhan anak-anak itu mendekati Tante Rosanatermasuk Ned dengan tangan masing-masing menghunus sebilah pisau. (*)

Rahasia Puncho - dimuat di Suara NTB edisi Sab, 23 Sept 2017

Puncho merobek bungkus rokok dan mencabut sebatang dari dalamnya. Gerakan tubuhnya tersentak-sentak dan kaku, persis mayat hidup di film-film. Jari telunjuk dan jari tengah yang berfungsi menjepit rokok itu gemetar. Bahkan Puncho nyaris tidak bisa menyalakan rokoknya andai saja saat itu tidak ada Jenkins. Sikap Puncho yang gelisah menunjukkan ciri pecandu nikotin sejati, tapi siang itu, di tengah-tengah areal pemakaman yang sunyi itu, kegelisahan Puncho tidak terjadi karena dirinya seorang pecandu, melainkan memang ada hal lain yang membuatnya tampak gelisah.
“Kau selalu mengeluhkan napasmu yang mulai pendek. Kupikir sudah saatnya kau berhenti membakar paru-parumu dengan benda brengsek ini,” tukas Jenkins sembari mengambil pemantik dari tangan Puncho.
Meskipun kata-kata itu menunjukkan rasa tak suka, namun Jenkins tetap menjulurkan api itu ke ujung rokok Puncho. Puncho diam saja. Dia mencoba mencari ketenangan dengan merokok, namun nikotin yang terhisap oleh paru-parunya malah memperburuk penampilannya. Raut wajah Puncho semakin menunjukkan kegelisahan tatkala peti mati Garcia perlahan memasuki liang makam. Laki-laki setengah baya berkulit pucat itu tampak benar sedang berjuang keras meredam tangisan.
“Aku pulang dalam keadaan kacau. Dia sedang tidur, terbalut selimut. Aku memeluknya! Kupikir... bagaimana bisa....” Suara Puncho yang terbata-bata itu tiba-tiba lenyap, seolah ditelan kesunyian area pemakaman. Laki-laki itu menahan tangisannya hingga membuat bahunya berguncang. Dia mengusap matanya dengan punggung telapak tangan.
“Dengarkan aku...” kata Jenkins sembari mengulurkan tangan ke samping. Dia mengambil rokok yang terselip di bibir Puncho. Laki-laki berperawakan tinggi kekar itu membuangnya ke rerumputan. Jenkins merangkul pundak Puncho dengan sebelah tangan.
“Garcia meninggal dalam damai. Dia meninggal di tempat tidur yang hangat. Jutaan orang tidak mendapat kematian seindah itu. Kalau kau menyalahkan dirimu sendiri, kau tidak akan bisa melewati semua ini dengan mudah.”
Puncho tidak bereaksi mendengar kata-kata pelipur lara seperti itu. Dia memijat pelipisnya dengan ujung jari. Beberapa petugas pemakaman mulai menguruk tanah yang bertumpuk di samping makam Garcia. Tidak begitu lama, peti hitam mengkilat itu sudah hilang dari pandangan. Calon makam yang dua puluh menit yang lalu masih berbentuk lubang menganga, sekarang sudah menjadi timbunan tanah merah.
“Semua orang pasti pergi,” ucap Jenkins terus berusaha menghibur Puncho. “Kau pantas untuk bersedih. Namun jangan sampai kesedihan ini membunuhmu dan jangan pula terlalu keras pada dirimu sendiri.”
Puncho kembali diam. Angin mengembuskan hawa dingin yang mencucuk jangat. Dia merapatkan jaket dan menaburkan bunga dengan enggan ke atas gundukan makam Garcia. Kekacauan emosi terlihat begitu nyata di wajah laki-laki itu. Para pelayat satu persatu pergi setelah menyampaikan ucapan bela sungkawa. Puncho hanya menjawab mereka dengan anggukkan lesu.
“Lihatlah sekelilingmu. Orang-orang memerhatikan dan mencemaskan keadaanmu. Ayolah, sisakanlah sedikit senyummu. Setidaknya demi Garcia,” bisik Jenkins.
Kekacauan emosi yang tadi tergurat di wajah Puncho tiba-tiba hilang. Jemari kurus itu kembali merogoh kantong celana dan mengeluarkan sebatang rokok yang kedua. Kali ini gerakkan laki-laki itu sama sekali tidak gemetar. Dia memantik dan menghisap rokoknya dengan ketenangan yang mengagumkan. Jenkins mengamati perubahan itu dengan takjub.
“Terima kasih, Jenkins, kau sudah menghiburku,” kata Puncho datar. “Tapi maaf, aku harus pergi sebelum pikiran buruk membuatku mengambil keputusan dungu di tempat ini.”
“Kau mau ke mana?”
“Aku butuh waktu menyendiri,” jawab Puncho sembari mengenakan kaca mata hitamnya lalu meninggalkan Jenkins yang hanya bisa memandanginya dengan perasaan iba. Puncho telah memutuskan untuk tidak menceritakan apa pun pada Jenkins tentang kejadian tadi malam antara dirinya dan Garcia.
***

Puncho tak pernah menduga jika hantaman demikian keras akan menerpa dinding rumah tangganya bersama Garcia. Tahun-tahun pertama pernikahan mereka mengalir lembut. Memang ada sedikit riak yang mengganggu, namun riak itu terlalu kecil untuk membuat rumah tangga mereka karam. Puncho mencintai Garcia melampaui apa pun yang perempuan itu ketahui. Namun itu dulu, sebelum dia mendapati kenyataan bahwa rasa cintanya telah berakhir oleh sebuah pengkhianatan tak termaafkan.
“Kenapa tidak kau hancurkan saja hidupku bertahun-tahun lalu?”
“Kau mengkhianatiku lebih dulu,” jawab Garcia tenang. “Kau yang memulai, bukan aku.”
“Kau menghukumku dengan cara yang tak bisa kubayangkan.”
“Satu-satunya alasanku melakukannya adalah untuk menyakitimu.” Garcia beringsut turun dari ranjang. Dia berdiri tepat di hadapan Puncho. “Agar kau dapat merasakan rasa sakit lebih dari apa yang pernah kurasakan.”
“Jalang!” maki Puncho tak tertahan.
“Dan kau setan!” balas Garcia menyala-nyala. Perempuan itu mendongak. “Semua jalang yang pernah kautiduri itu tahu benar siapa dirimu!
“Kenapa kau memilih Joseph untuk menghancurkanku? Kau telah membunuh adikku dengan ini!” tukas Puncho seraya mengarahkan telunjuknya lurus di antara kedua paha Garcia.
“Itu memang tujuanku. Aku ingin kau hancur berkeping-keping,” desis Garcia seperti ular. Seringai pada wajah perempuan itu membuat Puncho bergidik.
Saat Puncho mendekat, Garcia tetap tegak  dengan posisi menantang. Dia bahkan tidak mundur ketika lengan Puncho melayang deras dan mendarat di wajahnya. Garcia terhuyung sesaat, namun perempuan itu kembali tegak dengan tenang. Dia mengusap pipinya yang terasa panas. Di wajahnya tersungging senyum yang menghina.
“Kau tak akan bisa menyingkirkanku seperti kau menyingkirkan Joseph,” geram Garcia sambil menudingkan telunjuk tepat di pertengahan kening Puncho.
“Kau yang memaksaku membunuhnya!”
“Cepat atau lambat mereka akan membuka topengmu,” ucap Garcia setenang lautan. “Saat hidupmu hancur. Akulah orang yang pertama menertawakanmu.”
Biasanya, setiap usai bertengkar, Puncho selalu kembali ke kantor. Menikmati satu atau dua kaleng bir bersama Jenkins dan pulang saat fajar. Namun malam itu dia memilih keluar rumah tanpa tujuan sambil menghabiskan berbatang-batang rokok di jalanan. Jika suasana hati Puncho sedang kacau, lelucon apa pun dari Jenkins mampu membuatnya terbahak. Namun malam ini dia tak mau menemui sahabatnya itu. Bisa saja dia datang ke rumah Jenkins, tapi Puncho tak ingin mengusik ketenangan keluarga Jenkins. Terbersit di kepalanya untuk melanjutkan langkah kian jauh, namun suara-suara asing itu menggaung di kepalanya.
Puncho merayapi trotoar jalan dengan hati hancur. Dia tak peduli pada beberapa ekor anjing kelaparan yang sedang mengais sampah dan menatapnya penuh ancaman. Di kepala Puncho tersusun sebuah rencana untuk Garcia. Sejenak langkah kakinya berhenti. Puncho tegak sembari menatap binar lampu jalan yang berkedip-kedip. Sebuah gagasan muncul begitu saja. Seperti ilham yang datang dari bisikkan setan, gagasan itu tentu saja sesuatu yang jahat.
Dia menganggap apa yang akan dilakukannya adalah tindakan yang bisa dimaklumi. Lagi pula siapa yang mau menyimpan rasa sakit terlalu lama? Puncho menancapkan keyakinan; orang-orang akan setuju bahwa merelakan kematian seseorang yang memang pantas untuk mati lebih baik daripada merawat hati yang setiap saat dilukai.
Sepanjang perjalanan ke rumah, Puncho mencari cara terbaik untuk menjalankan rencananya. Puncho bahkan tak menyadari jika kakinya telah membentur pintu pagar. Laki-laki kurus jangkung itu berhenti sekali lagi. Dia terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Puncho menyalakan rokok, dan mengingat kembali isi pertengkarannya beberapa jam yang lalu.
“Dia memang meniduriku. Hanya saja, aku sedikit kecewa. Adik kecilmu itu tidak lebih bagus darimu di atas ranjang. Dia bajingan yang payah.”
Kata-kata itu menghantam Puncho dan membuatnya limbung. Kata-kata yang sangat kejam untuk ukuran perempuan yang telah hidup bersamanya hampir sepuluh tahun. Kata-kata yang telah sukses menumbangkan rasa cinta Puncho. Kata-kata yang telah membulatkan tekad laki-laki itu untuk masuk ke rumah dan mengakhiri semuanya.
Semburat malam sudah sedemikian matang ketika langkah kaki Puncho berhenti di depan pintu kamarnya. Sejak malam dia memergoki Garcia bercumbu dengan Joseph, Puncho tahu dia sudah kehilangan segalanya. Di antara keduanya, tidak ada yang bisa dia selamatkan. Dengan wajah kaku membeku, laki-laki itu mengambil bantal dan mendekapnya ke dada selagi berjalan menghampiri Garcia. 
“Maafkan aku...,” bisiknya seraya berlutut di samping Garcia. Puncho menekan bantal itu kuat-kuat. Garcia meronta-ronta, Puncho menekan bantal itu semakin kuat. Perempuan itu akhirnya tak bergerak lagi. Di tepi ranjang Puncho terpekur. Tangannya gemetar saat menutupkan selimut ke tubuh Garcia. Dari kejauhan anjing-anjing jalanan menyalak, suaranya menyusup dari celah-celah jendela dan menghantarkan kesedihan yang teramat sangat ke hati Puncho. (*)