Selasa, 13 Februari 2018

Setengah Batang Rokok dan Kematian, dimuat di Minggu Pagi, 9 Feb '18

Sepulang kerja, hujan lebat membuat saya terjebak di sebuah halte. Saya tidak sendiri di halte itu, ada seorang wanita yang ikut terjebak bersama saya di sana. Usianya terlihat muda. Saya menduga, sekitar 26 tahun. Berkulit kuning langsat dengan rambut legam sebahu. Dia terlihat rapi dengan blus biru dan span hitam yang membalut tubuh semampainya. Hujan menebar hawa dingin, dan hawa dingin itu menggiring minat saya untuk menikmati sebatang rokok. Ketika saya membuka bungkus rokok, wanita itu melirik saya.
“Keberatan?” tanya saya sambil mengacungkan bungkus rokok ke arahnya. Wanita itu menggeleng. Saya mengangguk, lalu menyalakan pemantik.
“Kenapa laki-laki suka merokok?” tanya wanita itu mengagetkan saya.
“Wanita banyak juga yang merokok,” kata saya menanggapi pertanyaannya.
“Laki-laki lebih banyak,” jawabnya santai. “Lagi pula, gender tidak akan mengubah kenyataan bahwa rokok memang tidak baik untuk kesehatan.”
“Dari mana Anda tahu?” tanya saya lalu tertawa.
“Dari peringatan yang ada di bungkusnya,” jawabnya seraya melempar senyum bersahabat.
Saya mengangguk dan tertawa lagi. Dia ternyata wanita yang ramah. Kebanyakan wanita amat benci pada perokok, terutama yang merokok di tempat-tempat umum, seolah-olah para perokok itu adalah satu-satunya penyumbang racun di udara. Namun yang menggelitik rasa ingin tahu saya bukanlah soal penampilannya atau sikapnya pada saya, melainkan sebuah buntalan kumal yang berada di pangkuannya. Benda itu sungguh tak cocok berada di dekatnya. Rasanya seperti sedang memandang lukisan Monalisa yang dipajang di dinding gubug reot.
“Benda itu milik Anda?” tanya saya menunjuk buntalan kumal di pangkuannya.
Wanita itu mengangguk.
“Bekerja di mana?”
“Saya kurir,” jawabnya singkat.
Saya sedikit tak percaya. Dia mengaku kurir, tapi tak terlihat memiliki kendaraan atau seragam yang biasa dikenakan seorang kurir. Satu hal lagi; dia cantik dan terlihat telaten merawat tubuh. Tidak ada noda legam bekas paparan sinar matahari di wajahnya. Jadi, pengakuannya tadi cukup mengherankan. Di mata saya, paling tidak dia sekretaris di sebuah perusahaan bonafit atau malah mantan model majalah dewasa. Itu, saya pikir, lebih masuk akal baginya.
“Sudah lama kerjanya?” tanya saya sembari mengembuskan asap rokok. Gumpalan asap putih mengambang di sekitar wajah saya, lalu lenyap disapu angin.
“Begitulah,” sahutnya. “Tapi saya lupa kapan mulai bekerja.”
“Oya? Sudah lama sekali rupanya,” timpal saya. “Kalau boleh tahu, benda apa yang biasanya Anda antar?”
Wanita itu mencengkram buntalan di pangkuannya. “Sesuatu yang tidak bisa didefinisikan,” jawabnya sembari perdengarkan tawa pendek yang lekas ditindih bunyi gemerincik hujan di atap halte.
“Setahu saya, tidak ada jasa pengiriman seperti itu,” ucap saya skeptis.
“Itulah kenyataannya,” sahutnya riang. Dia tersenyum lebar. Barisan giginya yang putih-rapi mengintip dari sela bibirnya yang merah muda. Wanita itu lalu memindahkan buntalan kumal dari pangkuannya ke bangku halte. Saya memperhatikan gerakannya dengan rasa penasaran; sesuatu yang tidak bisa didefinisi seperti apa yang ada di dalamnya?
Saya semakin terpancing untuk tahu lebih jauh. Lagi pula, percakapan ini berhasil mengurangi kebosanan saya menunggu hujan reda. Rintiknya masih sederas beberapa menit yang lalu. Angin berembus kencang. Denyar petir muncul sesekali. Di seberang jalan, pohon angsana berderak-derak ditiup angin. Kabel listrik dan telepon berayun mencemaskan. Tapi semua itu tak lebih menarik dari misteri yang ada pada wanita di samping saya.
“Seperti apa cara kerja Anda?”
“Selayaknya seorang kurir,” jawabnya mengedikkan bahu. “Apalagi yang harus dijelaskan? Semua orang tahu seperti apa kerja seorang kurir.”
“Ya, saya paham itu. Maksud saya, sesuatu yang tak terdefinisi seperti apa yang Anda antar itu?”
“Betul ingin tahu?”
Saya tertawa, “Ceritalah ... “ pinta saya antusias.
Deru angin dan rintik hujan masih menghantami atap halte. Suara gemuruhnya menindih deru kendaraan yang berlalu-lalang. Saya menggeser tubuh, mendekat agar lebih jelas mendengar ceritanya. Jika saja tak ada wanita itu, pastilah saya sudah menyerapahi situasi menyebalkan ini. Tapi tidak, hujan justru membuat saya bersyukur, sebab jika hujan semakin deras, itu artinya saya memiliki waktu lebih lama mendengarkan wanita itu bercerita.
“Sebenarnya saya tak perlu mengenalkan diri pada Anda,” katanya sambil merapikan rambutnya yang diacak-acak angin.
“Kenapa? Apakah kita pernah berjumpa sebelumnya?” tanya saya lumayan kaget.
“Oh, tidak, tidak,” katanya sambil menoleh pada saya sekilas. “Tapi, saya mengenal Anda.”
Saya tersentak. Saya pandangi wajah oval itu dengan teliti, “Siapa ya?” tanya saya sambil mencoba mengingat-ingat.
“Anda ingat wanita bernama Nay?” Alih-alih menjawab, wanita itu malah melontarkan pertanyaan yang membuat saya semakin terkejut.
“Nay Larasati?”
Wanita itu mengangguk.
“Dia sudah meninggal setahun lalu,” kata saya menindih keterkejutan yang makin kuat.
“Yah, dan Anda tahu apa penyebabnya?”
“Dia bunuh diri,” jawab saya tanpa ragu, sebab demikianlah kabar yang saya terima. Menyebut nama itu memicu rasa nyeri di dada kiri saya.
“Benar. Tapi bukan itu saja yang saya ketahui.”
“Apa lagi?”
“Dia mati karena Anda tinggalkan menikah dengan Gloria,” jawabnya terkikik geli.
“Eh, apa? Kenapa Anda bisa tahu semua itu?” tanya saya. Rasa terkejut tadi berubah cepat menjadi rasa takut yang ganjil. Wanita itu seperti hantu yang datang dari masa lalu saya dan mengetahui bahkan rahasia terkecil yang saya sembunyikan. Memang benar, dalam satu episode suram hidup saya, saya pernah melakukan sebuah kesalahan; meninggalkan Nay dan memilih menikahi Gloria. Namun, tak banyak yang tahu soal itu, lebih-lebih wanita asing yang baru beberapa menit saja mengenal saya.
Tidak ada satu orang pun yang tahu rahasia yang telah saya kubur bertahun-tahun itu, kecuali ibu dan beberapa kerabat dekat saja. Saya masih ingat dengan jelas ketika ibu mengutuk keputusan saya memilih Gloria. Betapa bengalnya saya, meski serapah ibu melumuri kepala saya, namun keputusan saya tetap tidak berubah. Hari itu, saya melangkah di altar gereja bersama Gloria. Saya berdiri di hadapan imam dan mengikrarkan janji sakramen pernikahan tanpa restu ibu dan tanpa peduli seperti apa perasaan Nay.
“Sungguhkah kalian dengan hati bebas dan tulus ikhlas hendak meresmikan pernikahan ini?”
“Ya, sungguh.”
“Selama menjalani pernikahan nanti, bersediakah kalian saling mengasihi dan saling menghormati sepanjang hidup?”
“Ya, kami bersedia.”
“Bersediakah kalian dengan penuh kasih sayang menerima anak-anak yang dianugerahkan Tuhan kepada kalian, dan mendidik mereka sesuai dengan hukum-hukum Tuhan?”
Pertanyaan terakhir itu tak pernah saya jawab, karena di barisan keluarga mempelai laki-laki, ibu jatuh dan tak sadarkan diri. Pernikahan saya dan Gloria batal, sebab saya lebih memilih mengantar ibu ke rumah sakit ketimbang melanjutkan prosesi pernikahan. Di rumah sakit, ibu dinyatakan koma dan akhirnya meninggal. Seolah tak cukup kenyataan itu meremukkan saya, seseorang di sambungan telepon yang entah siapa, memberitahu saya jika Nay menenggak racun serangga di kamar kosnya.
“Anda sedang mengenang mereka, ya?” pertanyaan wanita itu membuyar lamunan saya.
“Siapa Anda sebenarnya?” tanya saya gemetar. Saya dicekam dua perasaan secara bersamaan; takut sekaligus penasaran.
“Nanti Anda juga akan tahu,” jawabnya tenang. “Oh, ya, apakah Anda termasuk orang yang percaya jika kematian itu sudah ada agenda dan waktunya?”
Saya tidak menjawab. Lidah saya terkunci, tapi kepala saya tidak. Saya mengangguk tanda bersetuju dengan pernyataan yang dia sampaikan. Barangkali rasa penasaran yang diramu dengan keterkejutan mampu menghasilkan kebodohan yang memalukan. Wanita itu telah berhasil melakukannya pada saya.
“Seharusnya jika Anda percaya, Anda pasti sudah bisa merelakan kematian Nay dan ibu Anda dengan mudah,” ujar wanita itu santai.
“Bagaimana mungkin Anda bisa tahu semua itu?” tanya saya gemetar. “Sedangkan saya sama sekali tidak mengenal Anda.”
“Tak perlu takut. Santai saja,” katanya sembari tertawa.
“Siapa Anda sebenarnya?” ulang saya. Hati saya sudah sepenuhnya diselimuti ketakutan. Kehadiran wanita itu dan apa saja yang dia ketahui tentang saya betul-betul ganjil.
“Malaikat Maut,” jawabnya dengan enteng sekali.
“Oh, yang benar saja!” gerutu saya jengkel. Dengan tangan gemetar, saya mencabut sebatang rokok lagi dan berharap akan lebih tenang setelah menghisapnya. Rasa nyeri kembali menusuk dada kiri saya. Saya hisap rokok itu dengan gelisah, lalu mengembuskan asapnya cepat-cepat.
Hujan belum juga reda. Saya bisa saja pergi menerabas dinding hujan, lalu meninggalkannya sendirian di halte ini, tapi lutut saya tiba-tiba lemas. Saya mulai memikirkan hal-hal absurd dan tak masuk akal. Tapi hal-hal absurd dan tak masuk akal itu sulit sekali saya terjemahkan, hingga saya tiba pada satu kesimpulan; wanita di samping saya ini gila atau justru sayalah yang gila.
“Masih ada satu hal lagi yang belum Anda ketahui,” katanya menatap mata saya tajam sekali.
“Apa itu?” tanya saya berusaha tenang.
Dia diam beberapa detik, sebelum akhirnya berkata, “Saya datang ke sini untuk menjemput Anda.”
“Tunggu dulu,” kata saya. Lidah saya tercekat. “Maksud Anda hari ini saya akan mati?”
Wanita itu mengangguk.
Saya melirik lagi buntalan kumal yang tergeletak di sampingnya. “Apakah itu untuk nyawa saya?”
Wanita itu tersenyum. “Iya. Maaf jika nanti Anda tidak nyaman berada di dalamnya,” jawabnya diakhiri tawa ringan yang seolah-olah apa yang dikatakannya itu adalah sesuatu yang lucu belaka.
Saya tidak menjawab. Sungguh tidak ada hasrat lagi untuk sekadar bercanda. Jemari saya mendadak tremor, menjalar hingga ke pangkal lengan. Wanita itu memandangi saya dengan tatapan prihatin—mungkin lebih tepatnya mengasihani.
“Seperti yang tadi saya katakan, benda itu berbahaya. Benda itulah yang menjadi alasan saya datang menjemput Anda,” katanya sembari menunjuk rokok di jepitan jari saya.
Saya tertawa getir. “Selalu ada alasan-alasan lucu untuk mati,” kata saya pedih. “Jadi saya akan mati hari ini, ya?”
Wanita itu mengangguk lalu kembali tertawa. Ya, begitulah. Bagaimana, Anda sudah siap?” tanyanya sambil melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.
“Tunggu sebentar. Ini rokok terakhir saya, tolong beri saya waktu untuk menikmatinya,” jawab saya sekenanya. Saya sudah tak mampu lagi membedakan kewarasan dan kegilaan. Saya rasa, saya sudah berada di ambang keduanya sekarang.
“Baiklah, saya akan menunggu,” jawabnya sembari mengelap butiran hujan di ujung sepatu lancipnya.
Saya ingin menyangkal semua percakapan antara saya dan dirinya—terlebih ucapannya yang mengatakan dia memang datang untuk menjemput saya—namun lidah saya kelu. Tubuh saya tidak bisa bergerak. Rasa nyeri di dada kiri saya kembali datang untuk ketiga kalinya. Tapi sekali ini rasanya seperti ada kayu runcing yang ditancapkan di sana. Sakit sekali. Satu-satunya pikiran yang ada di kepala saya adalah bagaimana cara agar rokok di tangan saya tak lekas habis, sebab waktu saya—mungkin—hanya tersisa setengah batang rokok ini saja. (*)