Minggu, 22 Oktober 2017

Depati Kincung. Dimuat di Padang Ekspress edisi Minggu, 22 Oktober 2017

Petir berdenyar membelah langit, ketika sesosok lelaki tua bertongkat kayu berjalan gontai memasuki kampung Lubuk Dabak. Ia seperti tak terpengaruh pada gigitan suhu dingin dan tusukan hujan gerimis. Dan seandainya kaki lelaki tua itu tak menapak tanah, pastilah orang-orang yang melihatnya akan mengira ia hantu gentayangan yang datang dari pemakaman umum di lereng Bukit Mategelung.
Suhu dingin mencucuk jangat dan kesiur angin yang membawa gerimis membuat orang-orang kampung enggan keluar dari rumah. Suara jangkrik berderik tak berputus. Sesekali terdengar pula lengking burung hantu dari arah Hutan Kelingi menambah mencekamnya suasana.
Begitu sampai di pertigaan jalan setapak, lelaki tua itu berhenti. Matanya menatap ke rumah panggung bercat biru yang berada di sebelah gardu jaga malam. Rumah paling besar itu milik Marpawi, kepala kampung Lubuk Dabak. Lelaki tua itu mengusap jenggotnya sebanyak tiga kali sebelum mendorong pintu pagar dengan ujung tongkat kayunya.
“Cari siapa?” tanya Ainah, istri Marpawi. Perempuan itu berdiri di ambang pintu sambil menatap lelaki tua di hadapannya dengan mata penuh selidik.
“Aku ingin bertemu, Marpawi,” jawab lelaki tua itu lembut.
“Ada pasal apa kau ingin menemui suamiku?”
“Aku membawa pesan untuknya.”
“Sampaikan saja padaku, nanti akan kusampaikan kepadanya.”
“Tidak. Mengingat betapa penting pesanku ini, ia harus mendengarnya sendiri.”
Ainah memandangi lelaki tua itu dari kepala hingga ke kaki. “Tunggulah di sini, aku akan memanggilnya,” jawab Ainah setengah membentak lalu berbalik dengan wajah geram.
Pada saat Ainah masuk ke dalam, lelaki tua itu mundur menjauhi pintu. Jika saja mata Ainah sedikit awas, maka ia pasti dapat melihat ada yang tak wajar pada diri lelaki tua itu. Sekujur tubuhnya kering, kakinya pun terlihat bersih padahal hujan membuat jalanan kampung Lubuk Dabak dipenuhi lumpur. Lelaki tua itu mengenakan gamis panjang bewarna hijau gelap, di lengannya ada gelang yang melingkar, gelang itu bergerak-gerak seperti ular.
Saat Ainah datang bersama suaminya, lelaki tua itu masih berada di beranda. Seolah tak ingin berlama-lama menemui tamunya, Marpawi menghampiri lelaki tua itu. Dengan nada suara yang tak ramah, ia bertanya nama dan keperluan lelaki tua itu menemuinya.
“Aku Depati Kincung.”
Sulit membaca raut wajah Marpawi dan Ainah usai lelaki tua itu memperkenalkan diri. Entah takut atau justru meremehkan, namun keduanya terdiam cukup lama dan saling pandang. Marpawi tiba-tiba tertawa sinis, Ainah tersenyum kecut.
Nama yang baru saja disebut lelaki tua itu adalah nama keramat di Kampung Lubuk Dabak. Tak ada yang tak tahu nama itu. Konon, nama itu menjadi legenda di kampung Lubuk Dabak sejak zaman Belanda. Para penjajah itu mendatangi kampung Lubuk Dabak dikarenakan kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah. Jutaan ton batu bara dan minyak bumi tersimpan di dalam tanahnya.
Depati Kincung yang menjadi kepala kampung Lubuk Dabak ketika itu menentang ketamakan orang Belanda. Dengan kesaktiannya Depati Kincung menanam lempengan baja yang dipesan khusus dari Kesultanan Palembang untuk menumpulkan mata bor milik orang-orang Belanda.
“Ya ya, aku tahu nama itu. Kau pikir aku akan percaya? Berapa kau dibayar orang untuk menakutiku?” sergah Marpawi pongah.
“Mungkin lelaki tua ini sudah gila,” celetuk Ainah. Ia membuang muka dengan sikap yang benar-benar menghina.
Lelaki tua itu tersenyum. Ia tenang dan sama sekali tak terpancing oleh hinaan yang keluar dari mulut pedas tuan rumah. “Aku bukan orang gila. Aku datang untuk menyampaikan pesan kepada suamimu, Ainah.”
“Dari mana kau tahu namaku? Aku bahkan belum pernah bertemu denganmu.”
“Tak ada yang tak tahu siapa dirimu. Sifatmu yang congkak itu telah menyebar kemana-mana.”
“Jaga mulutmu, bangsat tua,” hardik Marpawi. Ia berdiri dan memajukan tubuhnya ke depan sambil menjegilkan mata.
Ainah tak mau kalah, ia ikut-ikutan menimpali kata-kata suaminya, “Kalau kau mau minta sedekah, bilang saja, jangan mengarang cerita.”
“Aku datang ke sini bukan untuk meminta sedekah. Aku datang untuk mengingatkan kalian berdua.”
“Katakan saja, jangan bertele-tele. Setelah itu segera angkat kakimu dari rumahku ini,” kata Marpawi sambil menudingkan telunjuknya ke bawah dagu lelaki tua itu.
“Aku datang untuk memintamu tak lagi menebangi Hutan Kelingi. Sudah cukup. Jangan diteruskan.”
Marpawi tertawa keras. “Siapa yang menyuruhmu?” tanyanya sambil berjalan mondar-mandir. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam dan saat berhadapan dengan lelaki tua itu, Marpawi mengembuskan asap rokoknya.
“Kau mungkin bisa membodohi penduduk di sini. Tapi jangan harap ceritamu mempan padaku,” ujar Marpawi menyeringai.
“Hutan Kelingi dan kampung ini menyatu. Kau akan menghancurkan keduanya kalau tak mau mendengar  perkataanku.”
Marpawi tambah tergelak. “Aku memiliki izin lengkap untuk mengambil kayu-kayu di hutan itu. Kau tak perlu melakukan cara memalukan seperti ini untuk menghancurkan mata pencaharianku.”
“Aku sudah memberimu peringatan, jika kau tetap tak mau mendengar, kau akan menerima ganjaran.”
“Kau mengancamku?” bentak Marpawi seraya mencengkram krah baju lelaki tua itu dengan kasar.
Lelaki tua itu menggeleng lemah. Matanya menyorotkan tatapan iba. “Tak ada waktu lagi, Marpawi. Tak ada waktu lagi.”
“Dasar orang tua sinting! Enyahlah dari rumahku!”
Marpawi mendorong tubuh lelaki tua itu dengan kasar hingga membuatnya terhuyung, namun tak jatuh. Lelaki tua itu masih sempat berpegangan pada tiang rumah. Dengan tatapan sayu, ia memandangi wajah Marpawi dan Ainah. “Pergilah ke Bukit Mategelung. Kampung ini akan hancur lepas tengah malam.”
Marpawi menudingkan telunjuknya tepat di hidung lelaki tua itu, “Pergilah, sebelum kesabaranku betul-betul habis!”
Marpawi dan istrinya masuk ke dalam rumah dan meninggalkan lelaki tua itu sendirian di beranda. Lelaki tua itu pergi menjauh dari halaman rumah Marpawi. Bayang-bayangnya kemudian menghilang ditelan keremangan malam yang bergerimis di sekujur kampung Lubuk Dabak.
***

Hampir setiap hari terdengar raung chainsaw dari arah Hutan Kelingi. Hutan itu berada di hulu Sungai Pehaku. Orang-orang kampung Lubuk Dabak menganggap hutan itu hutan keramat. Namun kekeramatan itu telah memudar ketika berpuluh-puluh ton kayu gelondongan dihanyutkan ke Sungai Pehaku saban hari. Orang-orang hanya bisa mengelus dada. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa, sebab perambah-perambah itu menghabisi Hutan Kelingi atas perintah Marpawi.
Sudah banyak yang tahu kalau Marpawi biang keladi pencurian kayu di hutan hulu sungai Pehaku, tapi tidak ada yang berani mengusiknya. Sudah banyak tokoh-tokoh dan para tetua yang memperingatkan perilaku Marpawi. Namun Marpawi tidak pernah menggubris. Ia merasa sebagai kepala kampung, tidak ada satu orang pun yang berhak melarangnya.
Desas-desus merebak, Marpawi menyuap pejabat dan pemerintah. Marpawi pandai benar merayu orang-orang yang kiranya akan menjegal ladang bisnisnya. Namun sepertinya Marpawi lupa, kalau ada banyak sengketa yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan uang semata.
Seusai pertemuannya dengan lelaki tua bertongkat kayu malam itu. Hujan gerimis yang turun sejak petang berubah menjadi badai lepas tengah malam. Sungai Pehaku meluap ganas. Gelontoran air bah menerabas pekatnya malam. Menyapu Kampung Lubuk Dabak dengan lumpur dan potongan-potongan kayu dari arah Hutan Kelingi.
Sesaat sebelum banjir bandang menerjang, penduduk mendengar satu teriakan yang memerintahkan mereka mengungsi ke Bukit Mategelung. Tidak ada yang tahu siapa pemilik suara itu, tapi penduduk yakin, suara itulah yang membuat banyak nyawa berhasil selamat, kecuali nyawa Marpawi dan Ainah. (*)

Senin, 02 Oktober 2017

Jhoni. Dimuat di Taman Fiksi.com. Edisi 17 Maret 2016

Orang-orang biasa memanggil laki-laki itu Jhoni. Cap buruk lengket pada dirinya. Individualis dan tertutup. Mulanya para tetangga sering mencoba bertegur sapa dengannya, tapi laki-laki berperawakan kurus jangkung itu lebih banyak diam dan penuh rahasia, akhirnya mereka mendiamkannya. Dalam setiap acara atau perkumpulan, dia tak lagi diajak. Sifat individualis dan tertutup tadi, membuat dia terkucil.
Jhoni hanya sesekali terlihat saat sedang menyirami bunga-bunga peninggalan Hellena, mendiang istrinya, atau membersihkan bohlam lampu taman setiap pagi. Dia tak memiliki anak dari Hellena. Dia bertemu Hellena saat perempuan itu sudah berstatus janda dengan tiga anak yang usia mereka nyaris sebaya dengan dirinya. Anak-anak Hellena semua tinggal di luar negeri. Tapi hubungan Jhoni dengan mereka terjalin cukup baik. Hanya saja untuk sekarang, mereka jarang berkumpul seperti dulu, terlebih sejak Hellena meninggal.
Rumah besar itu terlalu sunyi untuk ditinggali seorang diri. Namun kadangkala kesunyian adalah karib yang menyenangkan. Sudah berapa kali anak-anak Hellena menganjurkan agar dia menikah lagi. Dulu saat Hellena masih hidup dan sakit-sakitan, Thomas, anak sulung Hellena, menyarankan dia menikah dan mereka akan merawat Hellena bergantian. Itu keputusan yang didapat dari hasil musyawarah mereka sebagai anak-anak Hellena, namun Jhoni menolak keras saran-saran itu.
“Aku akan merawat ibu kalian sampai kapan pun. Aku sudah berjanji padanya. Tak perlu memikirkan itu lebih jauh. Jaga saja rumah tangga kalian, itu lebih berguna daripada menyuruhku melakukan hal yang tidak akan aku lakukan.”
Beberapa kali Thomas mendesak, beberapa kali itu pula laki-laki itu menolak. Watak Jhoni yang tegas, teguh, bahkan terkadang emosional membuat keinginan Thomas dan adik-adiknya menyurut. Mereka paham keinginan Jhoni dan menghormati rasa cinta laki-laki itu pada ibu mereka. Jhoni juga menolak saat Maria, anak Hellena paling bungsu dan paling dekat dengannya, mengajak tinggal di Belgia bersama dia dan suami, sebab dengan begitu harapan Maria, laki-laki itu tak akan kesepian. Tapi Jhoni menolak halus. Kuburan Hellena membuat dia enggan pergi terlalu jauh.
Penolakan demi penolakan membuat anak-anak Hellena tak lagi ambil pusing. Rumah satu-satunya peninggalan Hellena mereka serahkan pada Jhoni, sebab mereka mungkin tak akan kembali ke Indonesia. Sekarang, semakin lengkaplah kesunyian yang membekap kehidupan laki-laki itu. Kesunyian menahun yang menyimpan sebuah rahasia.
***

Dahulu, dia termasuk jajaran laki-laki penyedia jasa kenikmatan kalangan atas. Meski dirinya bukan dari kalangan publik figur—artis, foto model, bintang iklan, bintang sinetron—tetapi dia cukup populer. Dia juga cukup lihai menutupi bopeng kehidupannya. Modus transaksi yang biasa dilakukannya pun cenderung terselubung. Dia pernah menjadi 'throphy' dalam pesta pribadi ibu-ibu kelas atas di sebuah villa di kawasan puncak, Bogor. Dia juga pernah menjadi simpanan istri seorang menteri pada era orde baru. Hidupnya bergelimang kemewahan sekaligus berlumur kebejatan. Begitulah ritme yang berputar dalam kehidupannya dari hari ke hari.
Satu hal yang tak seorangpun mengetahuinya. Sebenarnya namanya adalah Bramantyo. Di Jakarta, Bramantyo mengubah namanya menjadi Joni demi profesinya yang berkalang dosa. Dia tak ingin nama pemberian ibu bapaknya turut membusuk terciprat lendir-lendir dosa yang dia tabur di rahim-rahim perempuan kesepian yang rela merogoh kocek berapa pun untuk membayarnya. Telah banyak pertualangan yang dia lakoni. Menghabiskan malam-malam panjang bersama perempuan-perempuan beragam latar belakang. Ada istri-istri pejabat, ada janda-janda sosialita, ada pula gadis-gadis kaya yang hanya perlu jasanya untuk kepuasan dan bermacam perempuan lain yang tak mampu lagi dia ingat. Hubungan semacam itu hanya sebatas kepuasan. Ketika kepuasan tersalurkan, semua harus dilupakan, begitu prinsip Jhoni dalam melakoni perannya. Sampai suatu hari takdir menggiringnya bertemu Hellena dan prinsip itupun berubah serta merta.
Malam itu, Jhoni dan Hellena bertemu sesuai janji.  Sebuah pub di bilangan Matraman menjadi titik pertemuan. Sebelumnya mereka melakukan kontak terlebih dulu melalui seorang broker atau agen jasa yang dipakai Jhoni untuk mencari pelanggan. Hellena perempuan setengah baya, tubuhnya agak berisi lantaran usia yang tak lagi muda, cara berpakaiannya cukup sopan, sama sekali tak tampak kejalangan. Hellena seperti kebanyakan perempuan yang berasal dari kalangan atas di Jakarta. Modis dan selalu wangi.
“Apakah kau pernah merasa sepi di tengah pesta yang hingar begini?” kata Hellena membuka celah percakapan.
Jhoni tak pernah suka dengan pertanyaan yang langsung menohok. "Bagaimana bila aku tak perlu menjawab pertanyaanmu dan bagaimana pula jika pertanyaan itu kuberikan saja padamu?"
Hellena tertawa. Lalu kembali menikmati birnya. Dentam musik menyamarkan tawanya. Lampu kemerlap membuat senyumnya timbul tenggelam di mata Joni.
“Beri aku pertanyaan terbaikmu,” tantang Hellena.
“Kenapa kau memerlukan jasaku?”
Hellena tertawa. Pertanyaan itu terdengar lugu. “Aku perempuan kesepian. Aku butuh kehangatan dan kau penyedia jasa profesional. Di sana kepentingan kita bertemu. Sederhana sekali, bukan?”
“Oh, kau tentu sudah tahu berapa bayaranku, bukan?”
Hellena kembali tertawa, “Kau tak yakin aku bisa membayarmu?”
“Bukan begitu. Ah, lupakan saja, tukas Jhoni. “Oya, berapa lama kau butuh jasaku?”
“Selamanya.”
Jhoni nyaris tersedak. Untunglah wyne yang ditenggaknya telah meluncur jauh di tenggorokan hingga tak mungkin keluar lagi. Dia pernah ditawari untuk menjadi simpanan perempuan-perempuan kaya dan dia selalu menerimanya, karena dia tahu tabiat perempuan yang hidupnya akrab dengan petualangan, satu laki-laki tak akan mampu menutupi lubang berahi yang menganga pada diri mereka. Meskipun pernah dia menjalani sebuah perselingkuhan long-term, namun statusnya sebagai laki-laki simpanan tak pernah berlangsung lama. Karena itu dia kaget ketika Hellena tegas mengatakan menginginkannya selamanya.
“Maksudmu?”
“Iya, aku akan memakai jasamu selamanya. Dengan bayaran yang sesuai permintaanmu.”
Jhoni menghisap Marlboro-nya dalam-dalam dan mengembuskannya kuat-kuat. “Katakan dulu alasannya, kenapa aku harus mau menerima tawaranmu?”
“Nanti kuceritakan padamu. Saat ini aku hanya butuh jawabanmu.”
Tidak seperti perempuan-perempuan lain, Hellena membuat Jhoni iba. Pertama kali melihat Hellena, Jhoni tak bisa meraba kedalaman hatinya. Pengalaman yang dia peroleh dari sekian panjang perjalanannya dengan beragam perempuan, tak berguna di hadapan Hellena. Isi hati perempuan itu tak bisa ditebak. Di mata Hellena, Jhoni melihat genangan luka yang bernanah. Rahasia di balik luka itulah yang membuat dia menerima tawaran itu dan menjalani hubungan musykil yang mereka sepakati sebelumnya
***

Waktu yang merambat pelan telah menumbuhkan cinta di dada Jhoni. Hellena membuka semua rahasianya ketika dahulu meminta laki-laki itu menjadi pendampingnya. Dia ingin ketiga anaknya tenang saat melihatnya memiliki pendamping hidup setelah kematian suaminya. Jhoni menepati janjinya untuk mendampingi Hellena hingga batas waktu yang ditentukan dalam kesepakatan yang hanya mereka berdua yang mengetahuinya.
Melihat ketulusan yang ditunjukkan Jhoni pada Hellena, satu per satu anak-anaknya memang tenang meninggalkan Hellena dan menikah lalu kemudian tinggal dan bermukim di luar negeri. Mereka sama sekali tidak mempersoalkan usia yang terpaut jauh antara Hellena dan Jhoni.
***

“Saat ini tugasmu telah selesai. Anak-anakku telah tenang dan sekarang kaubisa meninggalkanku,” kata Hellena pada suatu pagi. Ada genangan bening yang meriak di sudut mata perempuan itu. Waktu dari kesepakatan yang mereka buat bertahun silam rupanya memang telah sampai ke penghujungnya.
“Aku tak tahu, harus bahagia atau bersedih saat ini,” gumam Jhoni. Dia mengoleskan selai strawberry ke roti tawar dan meletakkannya di piring Hellena. Perempuan itu meraihnya dengan tangan gemetar. Mungkin terpicu kesedihan yang meriap di dadanya.
“Pernahkah kau menemukan cinta sejatimu?” tanya Hellena di sela-sela kunyahannya pada roti bikinan Jhoni. Pertanyaan yang terdengar absurd dan putus asa.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Maafkan aku,” kata Hellena dengan wajah murung. “Dari sekian banyak perempuan-perempuan yang ada dalam hidupmu, kurasa pertanyaanku sangat tepat. Ah ... aku hanya ingin tahu saja. Kau boleh tak menjawab jika tidak mau.”
Jhoni terdiam. Meja makan dan ruangan dapur berinterior minimalis itu dirayapi keheningan. Air ledeng mengucur di bak penampungan menimbulkan suara gemericik panjang. Angin pagi menggoyang tirai gorden dengan irama tarian sendu. Tak tahu mengapa,  pagi itu, atmosfer kesedihan tercipta tanpa bisa dihalau keduanya.
“Kurasa aku telah menemukannya,” jawab Jhoni memecah keheningan yang tercipta.
“Oh itu kabar bagus. Ceritakanlah padaku, siapa perempuan itu?” tanya Hellena tersenyum menyembunyikan kegetirannya.
Jhoni perlahan meraih tangan Hellena dan membuat perempuan itu menatapnya penuh heran. “Kau, ya kaulah perempuan itu, Hellena, jawab Jhoni mengangguk pasti.
“Aku harap kau tak menyesali keputusanmu, ucap Hellena dengan bibir bergetar menahan tangis. “Aku terlalu tua untuk menjadi tempatmu bertahan.”
“Aku sudah memutuskan. Dan kuharap kau tak bertanya mengapa aku mengambil keputusan itu. Satu jawaban dariku tadi, cukuplah untuk penguat keraguanmu. Aku telah menemukan cinta sejatiku.”
Cinta ibarat burung yang pulang kemalaman. Seperti itulah cinta Jhoni untuk Hellena. Dia telah bertualang ke beribu pulau. Bertemu dengan berjuta burung-burung bersayap indah, namun pada akhirnya, hanya pada Hellena kepak sayapnya mengatup dan singgah.
Hari-hari yang mereka lewati terasa lebih indah dari hari-hari sebelumnya. Usia tak menjadi tembok yang menghalangi cinta untuk terus tumbuh sebagaimana mestinya. Tak ada manusia yang tak memiliki masa lalu. Hellena telah memaafkan masa lalu Jhoni dan dia justru bersyukur sebab dari sanalah dia menemukan laki-laki yang begitu setia mencintainya.
Hingga pukulan paling hebat itu menghantam Jhoni. Hellena meninggal. Laki-laki itu limbung dan dicekam kesedihan yang menahun. Dia tak mengizinkan siapa pun mengusik kesendiriannya. Jhoni masih merasakan keberadaan Hellena di sekitarnya. Dia tetap menjaga bunga-bunga yang biasa dirawat Hellena setiap pagi. Membersihkan bohlam lampu taman seperti yang biasa dilakukan Hellena. Namun, dia tak pernah sekalipun membiarkan orang lain mengusik kesepiannya. Hari berlalu dan musim berganti, hingga akhirnya Joni dianggap laki-laki penyendiri dan tak waras lagi.
***

Sudah dua hari lampu taman di depan rumah itu menyala. Tak biasanya seperti itu. Jhoni--laki-laki yang di mata para tetangganya memiliki perangai buruk itu—biasanya tak pernah lupa mematikan lampu. Bunga-bunga yang biasanya setiap pagi selalu disiram, dua hari terakhir seolah sengaja diabaikan. Para tetangga mulai bertanya-tanya akan keganjilan itu. Terutama saat dari arah rumah itu tercium bau busuk  menyengat. Kecurigaan tetangga pun terjawab, sore itu, bersama ketua RT setempat, mereka membuka paksa rumah Jhoni. Laki-laki itu ditemukan sudah mati. Dia tersenyum sambil mendekap foto Hellena. (*)

Lukisan Wajah Tamu yang Datang Tadi Malam. Dimuat di Minggu Pagi, edisi Jumat 24 Maret 2017.

Dua kubur terbujur di bawah sebatang pohon kemboja yang tak berbunga. Aira, gadis kecil bergaun hitam itu duduk di antara dua nisan. Satu tangan terjulur membelai rambut, menggeser letak pita putih yang tadi pagi dipasang Mamanya. Kemudian puluhan tangan-tangan lain membelai pipi dan dagunya. Pemilik tangan-tangan itu mengucapkan kata turut berduka cita lalu berlalu.
“Gadis kecil yang malang. Oh, kasihan ... ” bisik para pelayat.
Orang-orang terus mengucapkan bela sungkawa dan berkasak-kusuk perihal nasib Aira. Namun Aira bergeming. Mulutnya terkunci rapat. Sepanjang hidup, Aira tak pernah berkata-kata kecuali menangis dan ah-uh-ah-uh saja. Gadis kecil itu memeluk buku gambar dan menggenggam erat pensil di tangan, sementara orang-orang memandanginya dengan sedih.
Dunia Aira terisolir dari luar dan para pelayat yang sebagian besar adalah tetangganya itu tahu betul kenyataan menyedihkan pada diri Aira. Sekarang gadis itu hanya nemiliki pensil dan buku gambar. Dua benda yang menggambarkan secara detil peristiwa yang terjadi tadi malam.
***

Aira sedang tengkurap di tengah ruang keluarga ketika tamu itu datang lagi. Aira sedang bermain dengan pensil dan buku gambarnya. Sedangkan Mama sedang menonton acara reality show di televisi. Tamu itu berdiri di ambang pintu, melihatnya, Mama diam. Kemudian tanpa diminta, tamu itu duduk di kursi rotan yang biasa menjadi tempat Papa membaca koran. Orang itu selalu datang pada saat Papa tidak ada.
“Mengapa kamu datang lagi?
Aira mengangkat kepala dan menoleh. Tamu itu tak merespon pertanyaan Mama.
“Pergilah.”
Mama berdiri, tapi tamu itu tetap duduk. Kepalanya mendongak. Tamu itu merapatkan bibirnya. Hening sesaat melanda tamu itu dan Mama. Keheningan yang dipecahkan oleh bunyi jam dinding yang berdetik pelan. Tik-tok-tik-tok, ketukannya terdengar lamat-lamat menjadikan suasana malam terasa lengang.
Biasanya, setelah Aira selesai bermain dengan buku gambar, Mama akan mematikan televisi dan mengajak Aira tidur. Saat pagi, Mama akan menyuruh Aira menghabiskan roti dan susu, setelah itu giliran Aira menonton televisi. Di televisi Aira menonton seekor kucing yang mengejar seekor tikus. Episode yang selalu diulang-ulang itu tak pernah membuat Aira bosan. Tapi Mama tidak menyalakan televisi pagi itu.
“Aku ke sini untuk mengunjungi anakku.” Tamu itu berkata dengan nada datar namun bergema. Aira menoleh lagi.
“Jangan sebut dia anakmu. Dia bukan anakmu.”
Mata pensil Aira patah. Dia terlalu keras menekan ujungnya. Aira diam-diam memang sedang melukis Mama dan tamu yang datang pagi itu. Kumis tipis, dagu runcing, mata dinaungi alis tebal. Otak Aira merekamnya dan dengan jemari mungilnya, dia melukis wajah itu dengan sangat detil.
“Sekuat apapun kau menyanggah. Anak itu tetap anakku.” Tamu itu tertawa lembut.
Aira menyerut ujung pensil seperti yang diajarkan Mama. Percakapan di ruang tamu itu tidak menarik baginya, namun percakapan tetap masuk ke telinganya. Serutan terakhir tidak terlalu sempurna, tapi sudah cukup untuk dipakai kembali. Aira khusyuk menikmati tarian ujung pensil yang menggurat lekuk-lekuk wajah tamu itu dan wajah Mama. Tapi saat menatap wajah Mama, Aira mengigil. Raut wajah Mama merah, matanya menjegil. Aira hapal benar, itu raut wajah Mama saat sedang marah. Aira menunduk.
“Jaga mulutmu! Dia menyelamatkanku dari kotoran yang kautabur di kepalaku!” Suara Mama melengking dan Aira mengkerut. Pensil di tangannya terlepas. Jemari mungilnya gemetar. Tamu itu meradang, wajahnya menegang, pelipisnya mengencang.
“Aku sudah memintamu, tapi kau mengkhianatiku!”
“Hidupku sudah tenang. Jangan coba-coba mengusikku lagi.”
“Aku tak akan mengusikmu, jika kaubiarkan anak itu ikut denganku. Aku tahu dia tidak bahagia hidup bersamamu!
Setelah teriakkan itu, Aira meletakkan pensil ke dalam lipatan buku gambar. Dia berlari kemudian bersembunyi di balik gorden kamarnyaseperti saat Mama sedang marah. Dia mendengar akuarium pecah. Airnya melimpah ke lantai. Batu-batu kerikil dan ikan-ikan kecil menggelepar. Asbak ikut-ikutan terjatuh tersepak kaki Mama. Mama terbatuk-batuk. Matanya mendelik. Lidahnya terjulur. Jemari tamu itu tak lepas dari leher Mama. Aira menyaksikan detik ke detik pergumulan Mama dan tamu itu dari balik gorden kamarnya.
Tamu itu sering mendatangi Mama. Aira mengingat jelas kedatangannya pertama kali. Papa mengusirnya disertai todongan sebilah pisau. Tapi sekarang Papa tidak ada dan Mama diam, jadi Mama tak mungkin mengusirnya pergi. Aira berharap pada Papa, tapi dia tahu, Papa tak pernah bicara halus padanya.
Aira sungguh takut pada Papa. Papa sering membuatnya menahan rasa sakit. Bentuk rasa sakit yang diberikan Papa beragam. Papa kerap melumat dan menggigit bibir Aira. Dia tak pernah melawan atau mengadu pada Mama. Puncak rasa sakit itu adalah saat darah menetes dari paha kecilnya.
Saat itu Mama sedang tidak di rumah. Darah meresap di sofa merah darah dan tersamar dari penglihatan Mama. Kejadian itu hanya tersimpan di kepala Aira. Aira terus merasakan kesakitan itu sampai tamu itu datang dan Papa mulai jarang menyakitinya seperti sebelum-sebelumnya.
Aira selalu tenang jika Papa tidak ada. Ia akan bertambah tenang jika Papa tidak pulang. Namun kali ini, Aira menginginkan Papa pulang. Aira ingin Papa mengusir tamu itu. Aira menyangka tamu itu bersahabat padanya, sebab dia tidak seperti Papa, tamu itu baik pada Aira. Boneka beruang berbulu halus merah jambu yang ada di atas ranjangnya saat ini adalah pemberiannya.
Tamu itu melangkah, menuju tempat persembunyian Aira. Aira memeluk lutut dan menggenggam erat pensil dan buku gambarnya. Bola mata gadis itu berputar-putar, napasnya mendengus-dengus, sudut matanya berair. Aira ketakutan.
Langkah itu kian dekat. Aira menggigil dan ingin berteriak memanggil Mama, namun tidak bisa. Dia ingin berbicara, tapi dia tak bisa melakukannya. Langkah itu berhenti tepat di depan gorden kamarnya. Di luar terdengar deru sepeda motor. Papa pulang! Bola mata Aira bergerak pelan dan tak bergerak-gerak liar seperti tadi. Aira mulai tenang.
Dia memasang pendengaran lebih tajam. Langkah itu menjauh, sepertinya berjalan menuju ruang tamu. Aira mengintip dari balik gorden dan melihat sebilah pisau di balik punggungnya. Aira menjejaki puncak rasa takutnya dan dia tak sadarkan diri.
***

Aira tak mengerti dan tak tahu bagaimana mengatakannya pada semua orang rangkaian peristiwa yang terjadi tadi malam. Peristiwa yang terlukis begitu rapi di buku gambar kesayangannya. Orang-orang yang mengucap bela sungkawa itu juga tak ada yang tahu, bahwa tamu yang datang pagi tadi adalah orang yang sedang mengusap kepalanya saat ini. Dia yang membuat Papa dan Mama tertidur sangat lelap di bawah gundukan tanah merah pagi ini. Aira ingin menunjukkan semuanya, tapi dia tak bisa, bukan hanya tak bisa, tapi dia tak ingin menunjukkanya, sebab tamu itu kembali mengusap rambutnya dan Aira merasa sangat nyaman berada di pelukkannya.  (*)

Kotak Amal. Dimuat di Pikiran Rakyat. 12 Feb 2017

Lepas salat Jumat, seluruh jamaah masjid At Toyyibin berkumpul untuk membuka kotak amal bersama-sama. Warga dusun Tanjung Raya memiliki kebiasaan rutin di setiap Jumat di penghujung bulan. Para kaum lelaki yang hadir di majelis akan membuka dan menghitung uang di kotak amal untuk kemudian digunakan bagi keperluan merawat masjid satu-satunya di dusun mereka. Namun pada Jumat kali ini, semua yang hadir terpana manakala dibuka ternyata kotak itu sudah kosong. Sungguh, seperti dirajam duri hati Wak Sobari, bagaimana tidak, semua mata tertuju padanya, seolah ia adalah biang musabab dari raibnya seluruh uang  amanat umat.
Selama ini, tidak pernah ada yang berani mencuri uang di kotak amal itu. Uang yang rutin diisi jamaah itu selalu terkunci dengan aman. Tadinya uang itu akan digunakan untuk membayar tagihan listrik, membeli sajadah baru, dan seperangkat alat pengeras suara yang sudah lama rusak. Namun tampaknya rencana itu akan batal, sebab uang di kotak berbahan kayu jati itu sudah raib entah kemana.
Perasaan Wak Sobari gelisah. Dari ucapan-ucapan yang berdesing di telinganya warga sepakat, uang itu lenyap akibat dirinya yang lalai menjaga masjid hingga pencuri bisa leluasa mencurinya. Bahkan, Haji Badrun, terang-terangan mengatakan dirinya tidak becus menjadi marbot. Hati Wak Sobari teriris-iris. Padahal, ia sudah menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.
Rasa-rasanya tak ada cacat cela pada tugas Wak Sobari selama ini. Setiap hari ia menyapu lantai, melipat sajadah dan setiap tiga hari sekali, ia menjemur sajadah-sajadah itu di terik matahari agar tidak berdebu. Ia tidak ingin jamaah tak nyaman beribadah jika kondisi masjid tidak bersih. Lelaki yang sudah senja itu juga tidak pernah alpa mengisi bak tempat berwudhu. Ia juga memukul bedug setiap waktu salat tiba. Semua itu dilakukannya tanpa pamrih dan imbalan—meski ia tidak menampik jika ada beberapa jamaah bersimpati dan memberinya uang sedekah.
Ia meyakini sedekah tersebut adalah rejeki dari Rabb-nya, halal, dan tidak membuat rugi masjid yang dijaganya. Bahkan, seringkali, apabila uang yang diterimanya berlebih, ia memasukannya sebagian secara diam-diam ke kotak amal. Maka dari itu, Wak Sobari sedikit kecewa jika warga menuduhnya. Mereka bahkan tak memandang barang sedikit pun pekerjaannya mengurus masjid seorang diri. Wak Sobari bukan bermaksud mengungkit yang telah ia lakukan, tapi sebagai manusia, hati siapa yang tak luka jika dihina?
Sebenarnya, Wak Sobari tidak pernah membayangkan hidupnya akan menua menjadi marbot. Namun nasib kurang mujur menggiringnya melakoni tugas itu. Sebelum menjadi marbot, ia menggarap sebidang tanah milik Haji Hasyim, tapi ketika Haji Hasyim meninggal dunia, anak tertuanya meminta tanah itu kembali. Wak Sobari tidak bisa menolaknya, karena tanah tersebut memang bukan miliknya. Namun yang bisa ia berikan hanyalah sebagian dari luas tanah yang dulu diberikan Haji Hasyim, setengah lagi dari tanah tersebut telah ia jual untuk biaya pengobatan Nurhayah—istri yang tidak bisa memberinya seorang anak, namun sangat dicintainya.
Betapa berat hati Wak Sobari melepas seribu kenangan yang melekat pada tiap jengkal tanah yang sudah menjadi kebun itu. Jasad Nurhayah pun terkubur di sana. Namun, Wak Sobari tak punya pilihan. Tanah dan kebun itu memang bukan miliknya. Mendapati tanah itu sudah terjual sebagian, anak tertua Haji Hasyim marah besar. Ia merasa tanah warisan orangtuanya dijual tanpa izin, padahal Wak Sobari menjual tanah tersebut atas izin Haji Hasyim ketika orang tua berhati malaikat itu masih hidup.
Hidup sebatangkara, tak punya tempat tinggal, akhirnya mengantar Wak Sobari ke pintu masjid At Toyyibin. Hanya di tempat itu ia bisa menumpang tanpa perlu membayar dan menyusahkan sanak kerabatnya. Wak Sobari setuju saja ketika jamaah menunjuknya menjadi marbot, menggantikan marbot lama yang meninggal karena sakit. Tidak terasa sudah hampir lima belas tahun ia menjalankan tugas itu tanpa kendala. Hingga tak tahu entah mengapa tiba-tiba saja ada kejadian seperti ini.
Berpuluh pasang mata jamaah menghakimi Wak Sobari. Tentu saja, tatapan mata itu membuat ciut hatinya. Ia tak mungkin membela diri, meskipun sedikit banyak semua itu terjadi bukan salahnya, tapi lelaki bertubuh kering itu memilih untuk diam saja. Kasak-kusuk merebak di dalam masjid, menghasilkan gumam yang bergema di dindingnya.
Uang di kotak Jumat itu amanah yang mestinya dijaga, tak seharusnya Wak Sobari ceroboh meletakkannya, begitu gerutu warga menyudutkan Wak Sobari. Namun, Wak Sobari meletakan kepercayaan penuh pada siapapun yang bertandang ke masjid. Masjid adalah rumah Allah yang suci, tak mungkin ada yang berniat keji, demikian kepolosan hati Wak Sobari.
“Ini musibah. Kita tidak menghendaki hal ini terjadi, tapi kita juga tidak bisa menimpakan kesalahan pada Wak Sobari,” kata Ustadz Hikmawan.
“Tapi dia yang jadi marbot masjid ini, tentu hanya dia yang tahu kemana uang itu,” ucap Haji Badrun. Perkataan lelaki gemuk berpeci putih ini serentak disetujui jamaah.
Merah muka Wak Sobari karena malu. “Anggaplah ini kelalaianku. Tapi aku bersumpah demi Allah, aku tak mengambil uang itu.”
Haji Badrun terkekeh. “Mana ada maling yang mau mengaku. Kotak itu selalu dekat denganmu, tentu saja tidak ada orang lain yang bisa mengambilnya kecuali dirimu.”
Perkataan tajam itu disambut tawa jamaah. Wak Sobari menunduk masygul. Ia tak mau berdebat. Biarlah Allah yang menjadi saksinya, demikian bisik hati Wak Sobari. Diamnya lelaki tua itu, membuat kasak-kusuk berisi sindiran menusuk hati berlesatan kembali.
“Sudahlah. Kita tak memiliki bukti bahwa pelakunya Wak Sobari. Dalam agama, kita dianjurkan bertabayyun sebelum menjatuhkan tuduhan pada seseorang,” ujar Ustaz Hikmawan menenangkan keriuhan.
“Kalau begitu, geledah saja kantung bajunya atau bilik tidurnya,” celetuk seseorang dari belakang kerumunan.
Ustaz Hikmawan mengucap istigfar, “Saya rasa itu tak perlu...” katanya dengan pandangan haru pada Wak Sobari. Imam muda masjid itu tak sampai hati melihat lelaki tua di sampingnya dihakimi sedemikian rupa.
“Tidak, Ustaz. Lakukan saja permintaan mereka. Aku ikhlas jika itu adalah cara untuk membuktikannya,” terdengar lirih jawaban Wak Sobari. Lelaki renta itu merogoh sakunya dengan tangan gemetar, lalu mengeluarkan semua isinya. “Hanya ini,” ucapnya sambil menunjukkan seuntai tasbih.
“Biliknya belum kita periksa!” seru salah satu warga.
“Ini sudah keterlaluan,” kata Ustaz Hikmawan geram. Ia hendak bangkit dan membentak, namun urung sebab lengannya keburu dicekal.
“Lakukan saja,” ucap Wak Sobari. “Untuk menemukan kebenaran, hal itu memang perlu dilakukan.”
Seperti mendapat angin, beberapa lelaki menuju bilik Wak Sobari yang terletak di dekat bedug. Mereka membongkar barang-barang miliknya hingga acak-acakan.
“Apakah kalian menemukan sesuatu?” tanya Ustaz Hikmawan. Orang-orang yang tadi memeriksa bilik Wak Sobari menggeleng.
“Meski bukan dia pelakunya, tapi hilangnya uang itu akibat kelalaiannya. Saya meminta Wak Sobari diganti saja. Dia sudah tua, tidak layak mengurus masjid sebesar ini.” Haji Badrun kembali bersuara.
“Iya setuju! Setuju!” sahut beberapa orang di belakangnya.
Wak Sobari merasakan jantung tuanya berdebur keras. Nasibnya sebagai marbot masjid telah ditentukan. Wak Sobari memilih pasrah pada keputusan mereka.
Ustaz Hikmawan mendesah. Lelaki itu diam sejenak. Seolah ada sebongkah batu mengganjal tenggorokannya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Warga telah sepakat. Ustaz Hikmawan menatap wajah renta Wak Sobari dengan hati diliput haru. Ia merasa lelaki tua itu tidak pantas diperlakukan seperti manusia yang tercela.
“Allah sedang mengujimu, Wak. Bersabarlah,” bisik Ustaz Hikmawan. “Kau bisa tinggal di rumahku. Kebetulan aku tinggal seorang diri, aku akan senang jika Wak Sobari mau.”
Wak Sobari tersenyum getir, “Terima kasih. Aku masih punya saudara di kampung tetangga. Aku akan tinggal di sana saja,” tolak Wak Sobari halus.
“Ya sudah kalau begitu. Kalau Wak Sobari butuh apa-apa, temui saja aku. Insya Allah pintu rumahku selalu terbuka.”
Lelaki tua itu mengangguk, “Terima kasih.”
“Satu lagi, Wak,” ucap Ustadz Hikmawan seraya menggeser duduknya agar lebih dekat pada Wak Sobari. “Aku merasa Wak menyembunyikan sesuatu. Aku tidak percaya Wak tak tahu kemana raibnya uang itu. Wak pasti tahu siapa pelakunya, tapi Wak sengaja menutupinya.”
Lidah Wak Sobari kelu. Ia tiba-tiba teringat kejadian sore kemarin, ketika hujan turun begitu deras, seseorang menyelinap ke dalam masjid. Dari balik pintu biliknya, Wak Sobari melihat Haji Badrun mengambil kunci kotak amal yang ia letakan di atas mimbar. Lelaki yang selalu berpeci putih itu kemudian membuka kotak dan memasukan sesuatu ke saku baju. Wak Sobari yakin, Haji Badrun-lah yang mencuri uang itu. Lelaki itu masih menaruh sakit hati padanya. Namun Wak Sobari tak bisa mengatakannya, lelaki tua itu terbayang wajah mendiang Haji Hasyim, ayahanda Haji Badrun yang begitu dihormatinya. (*)

Minggu, 01 Oktober 2017

Hellena. Dimuat di Lampung Post edisi Sabtu, 30 Sept 2017

Seperti sebuah spons, kehilangan menyerap kebahagiaan di dalam hati dan membuatnya kosong. Seperti itulah perasaanku sejak kepergian Hellena. Sudah satu tahun berlalu dan kekosongan itu masih kerap datang menyambangiku. Apabila kekosongan itu datang, maka aku akan melakukan apa saja untuk mengisinya. Paling sering aku mendatangi kafe ini, tempat pertama kali aku bertemu dengan Hellena. Aku menempati kursi yang biasa kami duduki, di dekat jendela, lalu membayangkan dia berceloteh sambil menyesap segelas capucino kesukaannya. Seperti biasa.
Tadi, sesaat sebelum memasuki kafe ini, aku berdoa, Tuhan memberikan waktu sekali lagi menatap wajah Hellena. Aku tahu, betapa bodoh doa itu. Hellena-ku yang tabah sesungguhnya telah pergi pada suatu pagi yang kering di Desember tahun lalu. Aku tak bisa menepis kenyataan itu, sekeras apa pun usahaku. Sel kanker telah menggerogoti rahimnya dan membuat ia menyerah. Hellena pergi meninggalkan gumpalan pekat di hatiku. Mendatangi kafe ini hanya salah satu cara mengikis gumpalan itu sedikit demi sedikit.
Musik mengalun begitu lamban. Beberapa kursi disi oleh orang-orang yang tak satu pun aku kenal. Pagi ini lebih ramai dari pagi-pagi biasanya. Hujan mungkin penyebabnya. Aku memerhatikan mereka. Semuanya tampak asik menikmati alunan musik, kopi dan menu cake yang tersaji di atas meja masing-masing.  Di salah satu sudut, di dekat pot anyelir dan rumpun kuping gajah, aku melihat seorang gadis. Ia tampak gelisah. Duduk sendiri sambil sesekali melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Tubuhnya dibalut blus biru dengan detail-detail embroideri dan rok standar.  Di antara semua pengunjung kafe ini, ia adalah sosok yang paling menarik perhatianku.
Mungkin karena merasa sedang diperhatikan, gadis itu menatapku. Beberapa detik mata kami beradu dan berakhir saat aku memilih untuk berpaling ke jendela. Di jalanan, puluhan kendaraan menerabas miliaran butir air hujan. Angin menggoyang ranting dan dedaunan angsana yang tumbuh rindang di halaman kafe. Di sebelahnya, agak ke kiri, tegak sebuah reklame iklan obat penghilang sakit kepala. Aku tiba-tiba terpikir dan berandai-andai, jika ada obat penghilang ingatan, tentu tidak akan ada kesedihan. Bukankah, kesedihan hadir dari sebuah ingatan?
“Sedang menunggu seseorang?” kata sapa itu meluncur begitu saja. Aku tak mengerti kekuatan apa yang membawaku berdiri di sampingnya saat ini.
Gadis itu mendongak. “Oh, tidak. Emm... maksudku iya, aku sedang menunggu hujan reda.”
“Boleh aku duduk di sini?”
“Silakan,” katanya acuh. Dengan isyarat itu, aku lantas duduk.
“Cuaca yang menyebalkan ya,” ucapku memancing obrolan. Gadis itu mengangguk. Ia mengeluarkan tissu dari bungkusnya, lalu mengelap pelipis dan ujung hidungnya yang sepertinya basah oleh hujan. Tissu bekas itu ia remas, lalu diletakkannya di atas meja.
“Kerja di mana?”
Ia menyebut nama salah satu bank di kawasan Salemba.
“Aku bekerja di sekitar Salemba juga.”
“Oh....”
Gadis itu menjawab pendek. Ia seakan tak tertarik berbincang denganku. Aku memaklumi situasi ini. Mungkin nalurinya memberi peringatan bahwa aku adalah lelaki yang memiliki niat buruk kepadanya—atau apa saja yang membuatku tampak buruk di pikirannya. Tapi tak apa, mungkin aku perlu bertahan beberapa menit lagi untuk membuatnya menganggap kehadiranku sama sekali tidak mengancamnya.
“Aneh,” gumamku tanpa sadar.
“Apanya yang aneh?” Matanya menyipit.
“Aku rasa aku mengenalmu.”
“Bagaimana mungkin? Kita baru pertama kali bertemu.”
“Sudahlah, lupakan saja. Anggaplah aku sedang berhalusinasi. Kau benar, kita baru pertama bertemu, mana mungkin kita saling mengenal.” Tiba-tiba aku merasa canggung sekali dan berdiri untuk kembali ke kursiku. Perkenalan ini akan berujung sia-sia, sebaiknya aku akhiri saja.
“Aku juga berpikir seperti itu.” Ia mengerjapkan mata. Kali ini ia tertawa. Tawa yang membuatku sangat lega. “Aku bercanda. Duduklah.”
Selanjutnya kami terlibat obrolan yang menarik. Kukatakan jika aku bekerja di sebuah perusahaan yang rutinitas kerjanya menjemukan. Ia mengangguk-angguk. Aku juga menceritakan pengalamanku yang dulu sempat kuliah di jurusan ekonomi, namun gagal karena tak memiliki biaya yang cukup untuk menuntaskan studi.
“Yah begitulah hidup,” katanya seraya tertawa. “Kita tidak bisa memaksakan pilihan sesuai keinginan. Selalu saja ada kendala yang tidak bisa diprediksi kehadirannya.”
“Aku setuju,” kataku pelan. Kulirik sikap dan gestur tubuhnya. Ia mengangkat tangan kirinya dan melirik arloji yang melingkar di sana. Setidaknya tiga kali sudah aku melihat ia melakukan itu. Gestur itu membuatku tak enak.
“Apakah aku di sini mengganggu?”
Ia menggeleng, “Oh tidak, tidak!” jawabnya sambil mengibaskan tangan. Matanya membola. Aku mengangkat bahu dan berpaling ke jendela. Ada perih yang menusuk tiba-tiba. Aku kembali melihat bayang Hellena di matanya.
***

Segelas capucino hangat menemaniku menunggu hujan reda. Sesekali kulirik arloji di pergelangan tangan kiri. Seharusnya saat ini aku sudah berada di ruang kerja, tapi hujan seolah dirancang untuk membuatku terlambat datang. Kejengkelanku rasanya semakin berlipat ketika seorang lelaki tiba-tiba menghampiri mejaku.
Lelaki muda itu bermuka tirus. Dengan kemeja putih dan penampilannya yang rapi, kutaksir usianya mungkin sekitar tiga puluhan. Kulitnya putih agak pucat, dan matanya, ya matanya menyiratkan sesuatu yang sulit kuterjemahkan. Di luar hujan masih setia. Dingin menusuk pori-pori kulit yang terbuka. Ketika lelaki itu memalingkan wajah ke jendela, aku menangkap kesan yang tadi sulit kupahami: ia lelaki yang seperti sedang menyimpan kesedihan.
“Tadi aku cukup kaget. Kupikir kau benar-benar orang yang kukenal.”
Aku tertawa. “Mungkin kebetulan saja,” ujarku seraya mengelap bibir dengan sehelai tisu. Lalu dengan tisu yang sama aku mengelap sisa hujan di pelipis. Tissu yang kupakai untuk mengelap itu kuremas dan kuletakan di atas meja.
Lelaki itu bersitumpu dengan sepasang sikunya dan mencondongkan tubuh ke arahku. “Kau percaya ada kebetulan di dunia ini?”
“Aku percaya,” jawabku.
“Aku juga.” Lelaki itu berkata dengan wajah serius. Ia mengangkat sebelah tangan dan melambai pada seorang pelayan. Pelayan itu mengangguk dan menghampiri.
“Buatkan dua cappucino panas, satu untukku dan satu untuknya,” katanya tanpa bertanya lebih dulu kepadaku. “Hujan sepertinya masih lama.”
Aku mengedikkan bahu. Kulirik luar jendela, hujan memang masih deras. Sesekali terdengar bunyi gemuruh. Pagi ini muram sekali. Aku tak yakin bisa pergi ke kantor tepat waktu. Cuaca buruk ini menjebakku. Tapi setidaknya aku memiliki teman ngobrol dalam situasi yang membosankan seperti ini.
Mengobrol dengannya seperti mengobrol dengan teman lama. Kami tidak pernah kehabisan bahan obrolan. Meskipun begitu, tetap saja aku tidak bisa menghilangkan perasaan mengganggu bahwa sosok lelaki yang ada di hadapanku ini adalah lelaki asing yang baru kukenal beberapa menit yang lalu.
“Kau tahu?” ucapnya sepeninggal pelayan mengambil pesanan. “Hujan seperti ini selalu membawa ingatan pada seseorang.”
“Banyak orang beranggapan sepertimu,” sahutku tenang. “Hujan memang sering membawa ingatan ke masa lalu.”
“Tapi kadang-kadang waktu bisa merusak ingatan ke masa lalu.”
“Yah aku juga setuju,” jawabku sekenanya. “Tapi mungkin dengan adanya hujan, orang-orang yang memiliki kenangan bisa sedikit lega.”
Kenapa bisa begitu?
Karena hujan yang akan memperbaiki kerusakannya.”
Ia tertawa. Aku juga tertawa. Pelayan menghampiri meja kami dan membawa dua gelas cappucino sesuai pesanan. Aroma menyenangkan menguar dari awan tipis di atas bibir gelas.
“Terima kasih,” ucapnya pada pelayan. Pelayan itu mengangguk lalu berlalu. Lelaki itu mengaduk cappucino miliknya dan meletakkan sendok di samping gelas. Ia tak meminumnya, hanya memandangnya sekilas.
“Silakan diminum.”
“Kau sendiri tidak meminumnya?”
“Nantilah, ini masih panas.” Ia memutar tangkai gelas dan kembali menatapku. “Oh ya, sampai di mana obrolan kita tadi?”
“Sampai pada hujan dan kenangan.”
Aku merasa ada kelucuan pada pertanyaannya. Ia berbicara tentang kenangan dan ingatan, namun beberapa menit setelahnya ia lupa. Sekarang aku mendapati satu kesan lagi padanya: Lelaki murung yang pelupa. Pemikiran itu membuatku tersenyum.
“Kenapa?”
“Oh tidak, tidak apa-apa.” Aku cepat menguasai diri dan menoleh ke jendela. Aku gugup karena tertangkap sedang memandangi wajahnya sambil menahan senyum.
“Oo iya. Seperti yang tadi kubilang. Hujan selalu membawa ingatan pada seseorang. Dan rasanya teori itu sedang terjadi padaku pagi ini.”
“Maksudmu?”
Dia menghela napas. “Dulunya aku adalah tipe orang yang memiliki disiplin waktu yang cukup ketat. Tapi dalam setahun ini kebiasaan itu berubah.
Kenapa bisa seperti itu?
Karena setiap aku ingin pergi ke kantor, langkahku justru berbelok ke kafe ini.”
“Apa yang membuatmu melakukan itu? Kenangan?” tanyaku penasaran.
“Itu salah satunya, lelaki itu mengangkat gelas cappucino yang masih mengepulkan uap. “Dan juga ini ...
Aku mengernyit, “Ada apa dengan cappucino?”
“Dulu, setiap pulang kerja, aku selalu singgah ke kafe ini bersama seseorang. Ia sangat suka capucino di kafe ini. Tapi setahun ini kami tidak lagi melakukannya. Kau tahu? Tadi sesaat sebelum aku masuk ke kafe ini aku berdoa agar bisa mengulangi momen itu .... “
“Bisa saja kau mengulangi momen itu di lain waktu, bukan?”
Ia menggeleng lemah, “Andai saja sesederhana itu .... “
“Kenapa?”
“Karena ia sudah tak ada.”
“Oh ...” Aku mengangguk.
Aku tak ingin bertanya lebih jauh. Di luar hujan mulai reda. Topik obrolan kami sebenarnya masih bisa berkembang ke arah mana saja, namun jarum jam sudah menunjuk angka 08:00. Waktu menusuk-nusuk kesadaranku. Ada tugas yang harus kulakukan di kantor pagi ini.
“Sepertinya hujan mulai reda. Aku harus bergegas.” Aku bangkit. Menyampirkan tas ke bahu, lalu mengulurkan tangan. “Senang berbincang denganmu.”
“Yah. Maaf jika membuat pagimu sedikit aneh.”
Aku menggeleng, “Sama-sama,” jawabku sambil tertawa dan melangkah meninggalkannya.
“Tunggu...”
Aku berpaling. Lelaki itu tersenyum.
“Boleh aku tahu namamu?”
“Hellena,” jawabku pelan. Lelaki itu menatapku sangat dalam, bahkan begitu menghunjam. Entah kenapa langkah kakiku berat meninggalkannya. Aku ingin berbincang lebih lama dengannya, bercerita tentang apa saja. Aku merasa seperti pernah mengenalnya, tapi tak tahu kapan waktunya. Mungkin di suatu tempat atau di kehidupanku di masa lalu. (*)

Minggu, 24 September 2017

Parang Ulu. Dimuat di Media Indonesia edisi Minggu,13 Nov 2016

Ruangan persegi berdinding papan itu hening. Keheningan merambati foto-foto usang dan rak kayu yang dipenuhi kitab-kitab tebal berdebu. Di dalam ruangan itu, Kiai Hambali duduk berhadapan dengan seorang lelaki tambun. Lelaki tambun itu berdiri, lalu berjalan ke arah rak kayu. Ia mengambil satu kitab dan membukanya. Tiga lelaki muda berdiri tak jauh dari Kiai Hambali. Pandangan mata mereka mengikuti gerak tubuh lelaki tambun dengan waspada.
“Pondok ini sudah sepi, percuma saja dipertahankan,” kata lelaki tambun sambil mengembalikan kitab ke tempat semula.
“Aku akan merundingkan hal ini terlebih dulu,” jawab Kiai Hambali tenang.
“Berunding dengan siapa?” tanya lelaki tambun. Ia kembali duduk di samping Kiai Hambali.
“Dengan para santriku,” jawab Kiai Hambali.
Lelaki tambun bermata sipit itu mendelik, lalu tergelak, “Santri yang mana, Kiai? Mereka bertiga?” telunjuknya mengarah pada tiga pemuda di belakang Kiai Hambali.
“Kuharap kau mau menunggu.” Kiai Hambali mengacuhkan tawa lelaki tambun di hadapannya. “Beri kami waktu.”
Lelaki tambun menghela napas sambil mengangkat bahu, “Baiklah. Tapi kami tak punya banyak waktu. Semakin lama proyek ini tertunda, semakin besar denda yang kami terima. Aku harap Kiai bisa mengerti.”
Kiai Hambali tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dan ikut berdiri. Setelah berbasabasi sebentar, lelaki tambun itu pergi. Ia pergi meninggalkan jejak lebam di dada Kiai Hambali. Lelaki senja itu tahu, ada kekuatan cukup besar di belakang lelaki tambun itu. Kekuatan yang tak mungkin dilawannya seorang diri.
Jauh-jauh hari sebelum kedatangan lelaki tambun  , Kiai Hambali sudah tahu bahwa semua ini pasti akan terjadi. Pembangunan sedang gencar dilakukan di kampung Parang Ulu, lahan persawahan dan tegalan milik warga sudah banyak yang disulap jadi pasar dan kantor-kantor swasta. Tempat hiburan dan toko-toko mulai menjamur. Singkatnya, kini kampung Parang Ulu sedang menggeliat dan terus menerus tumbuh dengan melahap apa saja.
“Apa pilihan yang kita miliki, Kiai?” tanya Umar, salah seorang santri yang paling lama belajar pada Kiai Hambali.
“Tidak ada.” Datuk Hambali mengusap janggut dengan jari-jari keriputnya. Ia melangkah ke jendela dan menumpukan tangan ke kusen. Mata lelaki tua itu mengembara ke awan-awan kapas di puncak langit, sementara benaknya terus mencari cara untuk bertahan. Tiga lelaki muda di belakangnya turut memandang ke luar jendela. Pandangan mata mereka persis sama—sama-sama menuju ke langit luas. Namun pandangan itu mati. Buntu. Seperti membentur tembok tinggi yang tak kasat mata.
“Mungkinkah ini perwujudan sumpah Serunting Sakti .... “ gumam Zarnawi, salah seorang santri yang bertubuh paling subur dan paling muda.
“Kau percaya hikayat itu?” tanya Burhan. Usianya kira-kira seumuran dengan Zarnawi. Sama-sama dua puluh lima.
“Entahlah,” jawab Zarnawi. “Tapi aku percaya satu hal ...”
“Apa itu?” tanya Burhan.
“Aku percaya jika dada lelaki tambun tadi berlubang. Lubang yang tak akan pernah sesak meski seisi dunia dijejalkan ke dalamnya,” jawab Zarnawi. Burhan terdiam.
Lalu keheningan kembali merambat. Wajah Kiai Hambali sekuyu warna putih yang melekat di kursi yang di dudukinya. Ketiga pemuda itu pun turut duduk. Kursi mereka tersekat sebuah meja beraroma cendana. Di meja itulah selama ini mereka mengkaji ilmu Al-Quran, hadits, fiqih, akidah, akhlak, faraidh, hingga isi kitab kuning—sebuah kegiatan yang mungkin hanya akan menjadi kenangan beberapa minggu atau mungkin beberapa hari lagi.
“Kiai, benarkah hikayat itu pernah terjadi?” tanya Umar memecah keheningan.
“Mungkin kita telah sampai di akhir zaman, Umar. Hikayat itu sudah lama dilupakan orang, untuk apa meminta Kiai menceritakannya lagi,” celetuk Zarnawi.
Kiai Hambali tersenyum kecut, tetapi ia mengangguk juga. Ia bersetuju dengan kata-kata Zarnawi. Hikayat sarat nasihat hanyalah pembasah bibir yang lekas mengering ditiup angin. Kini, jangankan hanya pada sebuah hikayat, bahkan pada hadits ataupun kitab suci saja, orang-orang sudah tidak takut lagi.
Di balik dinding bangunan rapuh itu, Kiai Hambali dan ketiga santrinya tertunduk lesu. Alotnya perdebatan dengan lelaki tambun tadi telah melempar ingatan mereka pada hikayat yang tak bisa terkelupas dari kampung Parang Ulu. Hikayat tentang pertarungan iblis dan malaikat yang memang pernah terjadi di masa lalu.
***

Dahulu, kampung Parang Ulu adalah kampungnya orang-orang gelap. Kampung itu berada di pedalaman Sumatera, dipeluk rimbun Bukit Barisan dan digelungi seutas sungai yang bermuara ke sungai Musi. Kesan angker terpahat di benak siapa saja yang mendengar namanya. Namun semenjak kedatangan Syekh Ali, kegelapan itu perlahan-lahan memudar. Seperti malam disibak cahaya fajar.
Tidak ada yang tahu riwayat Syekh Ali. Simpang siur kisah menyebut ia datang dari Malaka, sebagian lagi menyebut ia datang dari kerajaan Siak Sri Indrapura. Semua tentang Syekh Ali hanya melekat pada seonggok makam tua dan sekelumit kisah yang hidup di balik tempurung kepala orang-orang.
Para begundal selalu mengganggu dakwah Syekh Ali dengan segala cara. Mulai dari gangguan paling halus, hingga paling kasar. Namun sebagai musafir, Syekh Ali tentu saja memiliki bekal ilmu yang tidak sedikit. Gangguan-gangguan itu mampu ia bungkam satu persatu. Puncak dari gangguan itu datang dari Serunting Sakti. Dedengkot begundal kampung Parang Ulu itu menantang Syekh Ali bertarung di bukit Mategelung, bukit wingit di sebelah selatan kampung Parang Ulu.
Maka pada suatu malam yang diguyur hujan lebat, terjadilah pertarungan sengit itu. Pertarungan hidup mati yang diwarnai jual beli jurus-jurus kanuragan tingkat tinggi. Bukit Mategelung bagai dilanda topan prahara, pohon-pohon tumbang, tanah dan batu beterbangan. Saking dahsyatnya, bukit Mategelung seolah hendak terbongkar dari kulit bumi.
Memerlukan waktu tujuh hari tujuh malam untuk menentukan pemenang. Serunting Sakti memiliki ilmu kebal yang membuatnya tak bisa mati. Namun dengan karomah pada dirinya, Syekh Ali mampu menaklukkan Serunting Sakti. Gembong begundal itu melarikan diri dengan membawa malu tak terpermanai. Namun sebelum menghilang, Serunting Sakti mengucap satu sumpah, bahwa suatu hari ia akan kembali dan membuat celaka orang-orang di kampung Parang Ulu.
Selepas kepergian Serunting Sakti, tidak ada lagi kegelapan. Syekh Ali menyalakan suluh yang pendarnya menuntun orang-orang menuju jalan kebaikan. Di pinggir kampung, tepatnya di kebun jati tak bertuan, suluh itu ia pancangkan. Ia membangun sebuah pondok tempat mengaji untuk anak-anak kampung Parang Ulu.
Dahulu, tak ada satu keluarga pun yang tak memerintahkan anaknya belajar di pondok Syekh Ali. Hikayat Syekh Ali dan Serunting Sakti menjadi tunggul kepercayaan, bahwa hanya di sana, di pondok sederhana itu saja, sumpah Serunting Sakti tak memiliki taji untuk membuat anak-anak mereka celaka.
***

Lapangan rumput yang ditumbuhi tiga batang pohon tanjung itu riuh. Di tengah-tengahnya, Kiai Hambali berhadapan dengan lelaki tambun. Lelaki tambun tidak sendiri, ada sekitar selusin lelaki berseragam di belakangnya. Kiai Hambali juga tidak sendiri, ada tiga lelaki muda di belakangnya. Pandangan mata mereka sama tajam. Sama menikam.
“Bangunan ini tak memiliki izin resmi. Tanahnya milik negara dan kalian tak memiliki bukti kuat untuk mempertahankannya.”
“Tanah ini milik Tuhan. Kami sudah menempatinya atas izin Tuhan. Apakah itu tak cukup bagi kalian untuk membiarkannya tetap berdiri?”
Lelaki tambun terkekeh mendengar kata-kata Umar dan mengacuhkannya. Ia membuka tas di pinggangnya dengan tenang. “Uang ini sebagai ganti rugi. Terimalah, Kiai.”
“Anak-anak kampung ini membutuhkan tempat untuk belajar agama. Daripada menggantinya dengan tempat yang tak bermanfaat, ada baiknya kalian bantu kami membawa mereka kembali ke sini.”
“Menyerahkan tanah ini berarti bersedekah, Kiai. Tanah ini juga dibangun atas permintaan umat,” jawab lelaki tambun seraya tersenyum. Namun di mata Kiai Hambali, senyum itu menyiratkan watak yang rakus. Ia tak bisa melihat kejernihan di sana. Sorot mata itu memancarkan kegelapan yang sempurna.
“Aku tak bisa memenuhi permintaanmu. Maafkan aku. Mungkin kalian harus mencabut nyawaku dulu jika memang ingin merobohkan pondok ini.”
“Baiklah,” kata lelaki tambun seraya memasukkan kembali uang ke dalam tas. Otot di rahangnya menegang. Ada amarah yang tergambar jelas di wajahnya. “Kami akan kembali seminggu lagi.”
Lelaki tambun pergi diikuti selusin lelaki berseragam di belakangnya. Kiai Hambali memandangi punggung mereka dengan dada bergemuruh. Ia bisa merasakan hawa jahat pada kalimat terakhir itu. Kiai Hambali memejamkan mata dan diam-diam memanjatkan doa penolak bala.
***

Sore itu, selepas tunai salat Ashar, sebuah mobil hitam dan serombongan alat-alat berat memasuki pelataran pondok. Kiai Hambali dan tiga santrinya keluar dengan tergopoh. Puluhan lelaki bertubuh tegap dan berseragam sigap menghadang. Kiai Hambali dan ketiga santrinya menjadi bulan-bulanan ketika berusaha menghentikan gerak alat-alat berat yang beringas.
Dengan mata yang lamur oleh genangan darah, Kiai Hambali berbaring di rerumputan dengan hati pedih. Mata lelaki senja itu pelan-pelan mengatup, namun sebelum betul-betul terkatup, ia melihat lelaki tambun keluar dari mobil hitam sambil tersenyum. Namun di mata Kiai Hambali, senyum itu tampak gelap dan jahat. Seolah-olah itu adalah senyum kemenangan Serunting Sakti yang kembali ke kampung Parang Ulu. (*)

Parang Ulu Puluh, Ahad, 2 Dzul-Hijjah 1437

Dunia di Dalam Labu. Dimuat di Suara NTB edisi Sabtu, 26 Apr 2017.

Ned sedang bersembunyi dari kejaran Tante Rosana, saat tak sengaja kakinya terantuk sebuah labu. Labu itu tergolek di perkarangan belakang, dekat gerumbulan semak berry. Ukurannya sebesar bola basket. Kulitnya keras dan berwarna kuning bercak-bercak putih. Awalnya Ned sama sekali tidak tertarik, tapi saat dia bermaksud memegang labu itu, tiba-tiba tubuhnya tersedot sesuatu!
“Kenapa aku bisa ada di tempat ini?” tanya Ned kebingungan.
Ketika membuka mata, Ned ada di sebuah tempat yang mirip wahana permainan. Ada roller coaster, komidi putar, ayunan, boneka-boneka, dan beragam jenis permainan lainnya. Di tempat itu banyak anak-anak yang hampir seusia dengan Ned.
“Kau sendiri yang masuk ke sini, kenapa bertanya?” jawab anak  yang rambutnya keriting, pipi dembil kemerahan, bola mata biru dan tingkahnya aktif sekali. Ia mengenalkan namanya Romario.
“Aku tiba-tiba saja ada di sini. Oh ... aku tak bisa berpikir ... aduh, aku bingung sekali ....” ucap Ned hampir menangis.
“Anak kecil tidak seharusnya banyak berpikir. Kau tidak perlu bingung. Bermainlah sepuasmu. Di sini banyak wahana yang bisa membuatmu bahagia.”
“Tidak,” sahut Ned. “Aku ingin keluar. Tunjukkan padaku jalan keluar.”
Romario memandang Ned dengan heran. “Bukankah di sini menyenangkan?”
Ned memandang sekitar dengan wajah murung. “Di sini memang menyenangkan, tapi aku takut Tante Rosana marah lagi jika aku tak pulang.”
“Bukankah kau memang melarikan diri darinya? Seharusnya kau senang.”
Kelopak mata Ned melebar, “Bagaimana kau tahu? Apakah sebelumnya aku sudah menceritakannya padamu?”
“Memang tidak ... ehm, maksudku belum. Tapi setiap anak yang masuk ke sini pasti karena persoalan yang sama. Jadi tebakanku, kau pun pasti sama.”
Ned mendelik, “Maksudmu aku sedang berada di dalam labu?”
Romario menyeringai, “Pikirmu di mana?” jawabnya memonyongkan bibir.
Mata Ned terbeliak, “Apa? Oh tidak! Tidak! Aku tak bisa berada di sini. Aku harus keluar! Bantulah aku! Aku ingin keluar! Adakah caranya?” tangis Ned  pecah.
“Tentu saja,” sahut Romario santai.
Ned memegang tangan Romario dan memohon, “Tolonglah,” katanya terisak.
“Baiklah,” jawab Romario. “Tapi kau harus hapal mantranya terlebih dulu.”
“Ajarkanlah padaku,” ucap Ned dengan tatapan mata memohon.
Raut wajah Romario tiba-tiba berubah serius, “Mantra itu hanya berguna satu kali, jika kau masuk lagi ke labu ini, kau tidak akan keluar selamanya.”
Ned diam dan tampak bimbang.
“Pikirkan saja lagi. Aku takut kau menyesal. Saranku, puaskanlah dirimu di tempat ini. Di sini semuanya ada dan apa yang kau mau pasti tersedia. Tak ada tempat untuk kesedihan di sini.”
Ned mulai terpengaruh kata-kata Romario. Tapi jika dia tidak keluar dari labu, pasti papa akan mencarinya. Ned belum berpamitan. Dia harus keluar dulu untuk menemui papa. Jika harus masuk lagi ke dalam labu dan tidak keluar, Ned mau, asal sudah bertemu papa.
“Kau sudah memikirkannya?”
Ned menghela napas dan mengembuskannya kuat-kuat.
“Bagaimana?”
“Aku sanggup. Jika aku harus masuk lagi ke labu ini, setidaknya aku sudah berpamitan pada papa.”
“Baiklah.”
Romario kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Ned dan Ned mengangguk. “Ingat ya, mantra itu hanya berguna satu kali. Jika nanti kau berubah pikiran dan berniat masuk lagi ke dalam labu, kau harus betul-betul yakin, sebab seperti kataku tadi, kau tidak akan keluar setelah masuk ke sini dua kali. Dan ini yang paling berbahaya...”
Romario sengaja menggantung kata-katanya. Ned gelisah. “Apa itu?” tanya Ned sedikit takut.
“Jika labu ini hancur, kau akan kehilangan jiwa kanak-kanakmu. Kau akan menjadi monster.” Romario menekan kata-katanya hingga terdengar menyeramkan.
Ned tertegun. Ia memikirkan kata-kata Romario.
“Kau masih yakin ingin kembali?” Mata Romario berkilat aneh.
Keraguan sejenak menyeruak dari dalam hati Ned, namun tidak lama, sebab bayangan papanya melintas lagi. “Aku harus kembali. Iya, aku harus kembali,” jawab Ned yakin.
Ned mengucapkan mantra yang diajarkan Romario sambil memejamkan mata. Dia merasakan tubuhnya melayang dengan kecepatan sangat tinggi. Ned ingin membuka mata, tapi tadi saat berbisik padanya, Romario mengingatkan jangan membuka mata sebelum mencium aroma kamarnya.
Ned membuka mata dan dia sudah berada di kamarnya. Bagaimana hal itu terjadi, Ned tidak mau memikirkannya. Dia hanya ingin cepat-cepat menyembunyikan labu itu di bawah ranjang. Tadi Romario mewanti-wanti agar labu itu disimpan di tempat yang paling rahasia. Jika ada yang menghancurkan labu itu, maka ada sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Sesuatu yang mengerikan itu tergambar di bola mata Romario yang berubah semerah bara.
***

Hari ini hari yang buruk untuk Ned. Tante Rosana kembali membuatnya meringis menahan tangis. Penyebabnya sepele; Ned lupa mematikan kran air. Air dari dalam bak penampungan membanjiri sebagian lantai dapur. Seingat Ned, dia sudah mematikan kran air itu dan tak mengerti kenapa air bisa membanjiri dapur. Itu sebetulnya tidaklah seberapa jika sesudahnya Papa tidak terpeleset dan kepalanya membentur pinggiran bak.
“Dasar anak pembawa sial. Setiap gerakmu selalu membawa bencana!”
Hardikan Tante Rosana yang disertai pukulan tangkai sapu ke betis tidaklah sesakit saat Ned mendengar kata-kata dokter; Papa koma dan butuh keajaiban untuk bisa bangun. Seketika itu Ned merasakan kebenaran kalimat Tante Rosana; dia memang anak pembawa sial. Ned menyesali kecerobohannya. Dia yang membuat papa berada di antara hidup dan mati seperti ini.
***

Suster mengantar Ned keluar dari kamar rawat papa. Sekali lagi Ned menoleh. Diperhatikannya kening Papa yang terbalut perban. Luka itu adalah kesialan terakhir yang dia lakukan. Ned mengucapkan janji, dia tak akan membuat papa celaka lagi.
“Papa akan baik-baik saja 'kan, Suster?”
“Papamu tidak akan apa-apa. Dia hanya butuh istirahat.” Suster cantik itu membelai kepala Ned. “Sekarang biarkan papamu beristirahat.”
“Suster, tolong jaga papaku,” ucap Ned murung. Dia lalu berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan penuh kesedihan. Ned sudah mengambil sebuah keputusan. Dia akan kembali ke dalam labu dan tak akan keluar selamanya. Di belakang Ned, Suster cantik itu menatap punggungnya dengan iba.
Sesampainya di rumah, Ned melihat sebuah mobil terparkir di dekat pagar. Itu bukan mobil yang biasa dikenalnya. Ned hampir mengenali mobil orang-orang di komplek itu. Mobil itu bukan pula mobil teman-teman papa, bukan mobil teman-teman Tante Rosana. Setengah berjinjit, Ned mendekat. Dia menjulurkan kepala dari daun pintu yang sedikit terbuka. Lamat-lamat Ned mendengar sebuah percakapan.
“Semua sudah kuurus. Tidak ada yang perlu kita cemaskan.”
Dari balik pintu, Ned melihat Tante Rosana sedang berbicara dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu membelai dagu Tante Rosana. Ned tidak memahami ucapan mereka. Ia juga baru pertama melihat laki-laki itu—laki-laki yang membelai dagu Tante Rosana selain papa. Ned seharusnya telah pergi jika sepatunya tidak terantuk pot dan mengeluarkan bunyi 'krotak' yang menarik perhatian.
“Aku selalu sial,” keluh Ned.
Suara gaduh membuat Tante Rosana dan laki-laki di sampingnya menoleh. Ned berdiri kaku di ambang pintu. Mereka bisa langsung menduga, Ned telah mencuri dengar pembicaraan mereka. Tante Rosana melotot melihat kehadiran Ned dan laki-laki di sampingnya menyeringai.
“Pergilah dari sini, Sayang. Biar aku yang menyingkirkan anak itu sekarang.” Serak suara Tante Rosana terdengar jelas di telinga Ned. Laki-laki itu berdiri dan pergi. Saat laki-laki itu berjalan di samping Ned, Ned bisa mencium aroma tubuh Tante Rosana pada tubuh laki-laki itu.
Sepeninggal laki-laki tadi, Tante Rosana berjalan menghampiri Ned yang masih terpaku di ambang pintu. Beberapa detik tatapan mereka beradu. Ned merasa terancam. Di matanya, Tante Rosana kembali berubah menjadi monster jahat berwajah menakutkan.
Ned berlari sebelum tangan perempuan itu menelikung tubuhnya. Tante Rosana menggeram dan mengancam akan memukul. Ned berlari ke kamar dan mengunci pintu. Ned menggigil di sudut kamar. Tidak ada lagi tempat untuk berlari, tak ada lagi tempat untuk bersembunyi, kecuali ... kecuali labu!
Gedoran disertai terjangan akhirnya bisa membuka pintu kamar Ned. Tante Rosana unjuk wajah beringas. Matanya nyalang mencari ke setiap sudut, tapi tubuh kecil itu tidak ditemukan.
“Keluarlah kau berandal cilik,” desis Tante Rosana kesal.
Mata perempuan itu berkilat. Dia melongok ke bawah ranjang kemudian mengumpat. Tidak ada Ned di sana kecuali sebuah labu. Tante Rosana meraih labu tersebut dan melampiaskan amarahnya. Dia membanting labu ke lantai hingga isinya pecah berantakan.
Tante Rosana berteriak dengan muka pucat bagai tak berdarah. Dia menyaksikan Ned dan puluhan anak-anak berloncatan dari dalam labu yang pecah. Puluhan anak-anak itu mendekati Tante Rosanatermasuk Ned dengan tangan masing-masing menghunus sebilah pisau. (*)

Rahasia Puncho - dimuat di Suara NTB edisi Sab, 23 Sept 2017

Puncho merobek bungkus rokok dan mencabut sebatang dari dalamnya. Gerakan tubuhnya tersentak-sentak dan kaku, persis mayat hidup di film-film. Jari telunjuk dan jari tengah yang berfungsi menjepit rokok itu gemetar. Bahkan Puncho nyaris tidak bisa menyalakan rokoknya andai saja saat itu tidak ada Jenkins. Sikap Puncho yang gelisah menunjukkan ciri pecandu nikotin sejati, tapi siang itu, di tengah-tengah areal pemakaman yang sunyi itu, kegelisahan Puncho tidak terjadi karena dirinya seorang pecandu, melainkan memang ada hal lain yang membuatnya tampak gelisah.
“Kau selalu mengeluhkan napasmu yang mulai pendek. Kupikir sudah saatnya kau berhenti membakar paru-parumu dengan benda brengsek ini,” tukas Jenkins sembari mengambil pemantik dari tangan Puncho.
Meskipun kata-kata itu menunjukkan rasa tak suka, namun Jenkins tetap menjulurkan api itu ke ujung rokok Puncho. Puncho diam saja. Dia mencoba mencari ketenangan dengan merokok, namun nikotin yang terhisap oleh paru-parunya malah memperburuk penampilannya. Raut wajah Puncho semakin menunjukkan kegelisahan tatkala peti mati Garcia perlahan memasuki liang makam. Laki-laki setengah baya berkulit pucat itu tampak benar sedang berjuang keras meredam tangisan.
“Aku pulang dalam keadaan kacau. Dia sedang tidur, terbalut selimut. Aku memeluknya! Kupikir... bagaimana bisa....” Suara Puncho yang terbata-bata itu tiba-tiba lenyap, seolah ditelan kesunyian area pemakaman. Laki-laki itu menahan tangisannya hingga membuat bahunya berguncang. Dia mengusap matanya dengan punggung telapak tangan.
“Dengarkan aku...” kata Jenkins sembari mengulurkan tangan ke samping. Dia mengambil rokok yang terselip di bibir Puncho. Laki-laki berperawakan tinggi kekar itu membuangnya ke rerumputan. Jenkins merangkul pundak Puncho dengan sebelah tangan.
“Garcia meninggal dalam damai. Dia meninggal di tempat tidur yang hangat. Jutaan orang tidak mendapat kematian seindah itu. Kalau kau menyalahkan dirimu sendiri, kau tidak akan bisa melewati semua ini dengan mudah.”
Puncho tidak bereaksi mendengar kata-kata pelipur lara seperti itu. Dia memijat pelipisnya dengan ujung jari. Beberapa petugas pemakaman mulai menguruk tanah yang bertumpuk di samping makam Garcia. Tidak begitu lama, peti hitam mengkilat itu sudah hilang dari pandangan. Calon makam yang dua puluh menit yang lalu masih berbentuk lubang menganga, sekarang sudah menjadi timbunan tanah merah.
“Semua orang pasti pergi,” ucap Jenkins terus berusaha menghibur Puncho. “Kau pantas untuk bersedih. Namun jangan sampai kesedihan ini membunuhmu dan jangan pula terlalu keras pada dirimu sendiri.”
Puncho kembali diam. Angin mengembuskan hawa dingin yang mencucuk jangat. Dia merapatkan jaket dan menaburkan bunga dengan enggan ke atas gundukan makam Garcia. Kekacauan emosi terlihat begitu nyata di wajah laki-laki itu. Para pelayat satu persatu pergi setelah menyampaikan ucapan bela sungkawa. Puncho hanya menjawab mereka dengan anggukkan lesu.
“Lihatlah sekelilingmu. Orang-orang memerhatikan dan mencemaskan keadaanmu. Ayolah, sisakanlah sedikit senyummu. Setidaknya demi Garcia,” bisik Jenkins.
Kekacauan emosi yang tadi tergurat di wajah Puncho tiba-tiba hilang. Jemari kurus itu kembali merogoh kantong celana dan mengeluarkan sebatang rokok yang kedua. Kali ini gerakkan laki-laki itu sama sekali tidak gemetar. Dia memantik dan menghisap rokoknya dengan ketenangan yang mengagumkan. Jenkins mengamati perubahan itu dengan takjub.
“Terima kasih, Jenkins, kau sudah menghiburku,” kata Puncho datar. “Tapi maaf, aku harus pergi sebelum pikiran buruk membuatku mengambil keputusan dungu di tempat ini.”
“Kau mau ke mana?”
“Aku butuh waktu menyendiri,” jawab Puncho sembari mengenakan kaca mata hitamnya lalu meninggalkan Jenkins yang hanya bisa memandanginya dengan perasaan iba. Puncho telah memutuskan untuk tidak menceritakan apa pun pada Jenkins tentang kejadian tadi malam antara dirinya dan Garcia.
***

Puncho tak pernah menduga jika hantaman demikian keras akan menerpa dinding rumah tangganya bersama Garcia. Tahun-tahun pertama pernikahan mereka mengalir lembut. Memang ada sedikit riak yang mengganggu, namun riak itu terlalu kecil untuk membuat rumah tangga mereka karam. Puncho mencintai Garcia melampaui apa pun yang perempuan itu ketahui. Namun itu dulu, sebelum dia mendapati kenyataan bahwa rasa cintanya telah berakhir oleh sebuah pengkhianatan tak termaafkan.
“Kenapa tidak kau hancurkan saja hidupku bertahun-tahun lalu?”
“Kau mengkhianatiku lebih dulu,” jawab Garcia tenang. “Kau yang memulai, bukan aku.”
“Kau menghukumku dengan cara yang tak bisa kubayangkan.”
“Satu-satunya alasanku melakukannya adalah untuk menyakitimu.” Garcia beringsut turun dari ranjang. Dia berdiri tepat di hadapan Puncho. “Agar kau dapat merasakan rasa sakit lebih dari apa yang pernah kurasakan.”
“Jalang!” maki Puncho tak tertahan.
“Dan kau setan!” balas Garcia menyala-nyala. Perempuan itu mendongak. “Semua jalang yang pernah kautiduri itu tahu benar siapa dirimu!
“Kenapa kau memilih Joseph untuk menghancurkanku? Kau telah membunuh adikku dengan ini!” tukas Puncho seraya mengarahkan telunjuknya lurus di antara kedua paha Garcia.
“Itu memang tujuanku. Aku ingin kau hancur berkeping-keping,” desis Garcia seperti ular. Seringai pada wajah perempuan itu membuat Puncho bergidik.
Saat Puncho mendekat, Garcia tetap tegak  dengan posisi menantang. Dia bahkan tidak mundur ketika lengan Puncho melayang deras dan mendarat di wajahnya. Garcia terhuyung sesaat, namun perempuan itu kembali tegak dengan tenang. Dia mengusap pipinya yang terasa panas. Di wajahnya tersungging senyum yang menghina.
“Kau tak akan bisa menyingkirkanku seperti kau menyingkirkan Joseph,” geram Garcia sambil menudingkan telunjuk tepat di pertengahan kening Puncho.
“Kau yang memaksaku membunuhnya!”
“Cepat atau lambat mereka akan membuka topengmu,” ucap Garcia setenang lautan. “Saat hidupmu hancur. Akulah orang yang pertama menertawakanmu.”
Biasanya, setiap usai bertengkar, Puncho selalu kembali ke kantor. Menikmati satu atau dua kaleng bir bersama Jenkins dan pulang saat fajar. Namun malam itu dia memilih keluar rumah tanpa tujuan sambil menghabiskan berbatang-batang rokok di jalanan. Jika suasana hati Puncho sedang kacau, lelucon apa pun dari Jenkins mampu membuatnya terbahak. Namun malam ini dia tak mau menemui sahabatnya itu. Bisa saja dia datang ke rumah Jenkins, tapi Puncho tak ingin mengusik ketenangan keluarga Jenkins. Terbersit di kepalanya untuk melanjutkan langkah kian jauh, namun suara-suara asing itu menggaung di kepalanya.
Puncho merayapi trotoar jalan dengan hati hancur. Dia tak peduli pada beberapa ekor anjing kelaparan yang sedang mengais sampah dan menatapnya penuh ancaman. Di kepala Puncho tersusun sebuah rencana untuk Garcia. Sejenak langkah kakinya berhenti. Puncho tegak sembari menatap binar lampu jalan yang berkedip-kedip. Sebuah gagasan muncul begitu saja. Seperti ilham yang datang dari bisikkan setan, gagasan itu tentu saja sesuatu yang jahat.
Dia menganggap apa yang akan dilakukannya adalah tindakan yang bisa dimaklumi. Lagi pula siapa yang mau menyimpan rasa sakit terlalu lama? Puncho menancapkan keyakinan; orang-orang akan setuju bahwa merelakan kematian seseorang yang memang pantas untuk mati lebih baik daripada merawat hati yang setiap saat dilukai.
Sepanjang perjalanan ke rumah, Puncho mencari cara terbaik untuk menjalankan rencananya. Puncho bahkan tak menyadari jika kakinya telah membentur pintu pagar. Laki-laki kurus jangkung itu berhenti sekali lagi. Dia terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Puncho menyalakan rokok, dan mengingat kembali isi pertengkarannya beberapa jam yang lalu.
“Dia memang meniduriku. Hanya saja, aku sedikit kecewa. Adik kecilmu itu tidak lebih bagus darimu di atas ranjang. Dia bajingan yang payah.”
Kata-kata itu menghantam Puncho dan membuatnya limbung. Kata-kata yang sangat kejam untuk ukuran perempuan yang telah hidup bersamanya hampir sepuluh tahun. Kata-kata yang telah sukses menumbangkan rasa cinta Puncho. Kata-kata yang telah membulatkan tekad laki-laki itu untuk masuk ke rumah dan mengakhiri semuanya.
Semburat malam sudah sedemikian matang ketika langkah kaki Puncho berhenti di depan pintu kamarnya. Sejak malam dia memergoki Garcia bercumbu dengan Joseph, Puncho tahu dia sudah kehilangan segalanya. Di antara keduanya, tidak ada yang bisa dia selamatkan. Dengan wajah kaku membeku, laki-laki itu mengambil bantal dan mendekapnya ke dada selagi berjalan menghampiri Garcia. 
“Maafkan aku...,” bisiknya seraya berlutut di samping Garcia. Puncho menekan bantal itu kuat-kuat. Garcia meronta-ronta, Puncho menekan bantal itu semakin kuat. Perempuan itu akhirnya tak bergerak lagi. Di tepi ranjang Puncho terpekur. Tangannya gemetar saat menutupkan selimut ke tubuh Garcia. Dari kejauhan anjing-anjing jalanan menyalak, suaranya menyusup dari celah-celah jendela dan menghantarkan kesedihan yang teramat sangat ke hati Puncho. (*)