Sabtu, 28 Juli 2018

Riwayat Gelang Akar, dimuat di Lampung Post, edisi Weekend, 28 Juli 2018

Masih terang dalam ingatan Rao, peristiwa berdarah tujuh belas tahun yang lalu, saat ia dan  gerombolannya dikepung polisi di belantara Himbe Ijang. Mereka hanya diberi dua pilihan; menyerah atau melawan. Dua pilihan itu sama buruknya. Jika tertangkap, mereka akan berakhir di penjara dan jika melawan, mereka akan berakhir di kuburan—itu pun jika mayat mereka tidak dibuang.

Malam itu, belantara Himbe Ijang riuh oleh suara tembakan. Tiga orang anak buah Rao mati diterjang peluru, sedangkan dirinya berhasil lolos dari maut setelah berhasil melarikan diri dan menerabas gelap pekat belantara Himbe Ijang. Ia menjatuhkan diri ke jurang Matauh yang terkenal dalam dan angker. Para polisi menghentikan pengejaran dan sejak saat itulah Rao resmi menjadi buronan.

Ia mengembara di sepanjang pulau Sumatera. Dari Bengkulu, ke Jambi, menetap sebulan dua bulan di Padang, hingga akhirnya pelarian itu mengantarkannya ke kota Medan. Di kota inilah Rao menyamar sebagai sopir Sodaco yang mengambil jurusan Simalingkar-Padang Bulan.

Jika ditanya, siapa sosok yang paling dirindunya, maka jawabannya tentulah kepada Mar. Rao merindukan perempuan itu hampir setiap hari. Satu-satunya yang bisa mengobati kerinduan itu hanya selembar foto yang selalu ia simpan di saku baju. Di dalam foto itu Rao memeluk Mar--perempuan yang mengenakan daster bermotif bunga asoka dan tampak sedang hamil tua.

Bertahun-tahun ia membekap rindu, terlunta-lunta di tanah orang, dihantui bayang-bayang masa lalunya yang hitam. Rao tak punya keberanian untuk pulang, tersebab malu bertemu Mar. Namun tabiat rindu memang demikian keras kepala. Meski sudah bertahun-tahun Rao mencoba mengenyahkannya, namun selalu saja, rindu itu datang dan membuat batinnya terpiuh-piuh remuk redam. Sampai pada akhirnya kesempatan menuntaskan rindu itu datang. Marpaung, teman dekatnya yang berprofesi sebagai sopir truk ekspedisi, memintanya mengantar muatan ke Jakarta.

“Anak sulungku masuk rumah sakit. Kau tahu, sejak Julaiha meninggal, akulah satu-satunya orangtuanya. Tolonglah,  aku betul-betul butuh bantuanmu. Tak akan lama. Satu minggu saja,” kata Marpaung.

Tak mungkin Rao menampik permintaan itu. Marpaung adalah orang yang pernah menolongnya, orang yang pernah menyelamatkan jiwanya dari amuk massa saat terpaksa mencuri karena lapar. Marpaung pula orang yang mengenalkannya pada Haji Sulaiman dan meyakinkan pemilik armada sodaco itu untuk memberinya pekerjaan. Sebagai laki-laki, Rao harus tahu cara membalas budi.

“Oya, apa kau pernah mendengar tentang Gelang Akar?” tanya Marpaung membuyarkan lamunan Rao.

“Gelang Akar?”

“Gerombolan begal yang menguasai jalur Lintas Selatan,” ujar Marpaung sambil menyeruput kopi bikinan Mak Salim, pemilik kantin armada sodaco tempat ia dan Rao sedang berbincang.

Rao menggeleng. “Aku sudah lama tak pulang. Pasti banyak yang telah berubah.”
Laki-laki setengah baya itu menarik sebatang rokok dari bungkusnya, lalu menyelipkannya di bibir. Sebenarnya ia terkejut sekali saat Marpaung menyebut-nyebut nama itu. Masa lalunya yang telah mati hidup kembali. Namun, Rao cepat menyembunyikan perubahan air mukanya di balik gumpalan asap rokok yang diembuskannya. Asap itu tebal bergumpal-gumpal, persis isi kepalanya.

“Kau pernah bertemu mereka?” tanya Rao.

“Tidak pernah,” jawab Marpaung. “Tiga minggu yang lalu kabarnya Ucok Lintah dibegal kawanan bedebah ini.”

“Bagaimana mungkin?” ledek Rao disusul tawa pendek yang terdengar sumbang. “Ucok itu preman di pangkalan sodaco ini. Tak mungkin mudah mengalahkannya.”

“Mereka punya senjata,” ujar Marpaung.

“Senjata?”

“Iya, senjata api. Bah! Kaupikir cuma parang? Kalau cuma parang, tak akan mundur kawan kita itu!” seru Marpaung tergelak.

Rao ikut tergelak. “Ooo, pantas saja kalau begitu.”

“Ya, karena itu kusarankan padamu, sebaiknya berhati-hati saat melintas di sana. Usahakan jangan melintas malam hari.”

Rao mengangguk dan tersenyum penuh arti. Bertahun-tahun yang lalu, ia juga seorang begal. Dan tentu saja, rahasia itu tidak akan ia ceritakan pada Marpaung. Rao yakin sekali, ada gerombolan lain yang memakai nama Gelang Akar, sebab saat ini, hanya dirinya satu-satunya orang yang masih hidup dari gerombolan itu. Alih-alih takut, Rao justru penasaran, siapa yang telah membangkitkan nama Gelang Akar?
***

Bahar berdiri di ambang pintu. Baju seragam sekolahnya basah oleh air mata. Ada gurat luka di pelipisnya, seperti bekas cakaran. Mar sedang menjemur cucian ketika anak semata wayangnya itu bertanya dengan nada penuh kemarahan.

“Apa benar aku anak seorang begal?”

“Siapa bilang begitu?”

“Teman-temanku.”

Mar terdiam, memandangi wajah anaknya. “Mana yang akan kaupercaya? Emakmu atau temanmu?” tanyanya gemetar.

Bahar mematung dengan wajah merah padam.

“Jangan dengarkan apa kata mereka,” lanjut Mar sambil mengusap kepala Bahar. “Mereka tak tahu apa-apa. Bapakmu bukan penjahat. Bapakmu sedang merantau ke Malaysia.”

“Betulkah itu?”

Mar mengangguk ragu-ragu. “Lihatlah foto yang tergantung di dinding itu,” katanya seraya menunjuk sebingkai potret buram yang tergantung di dinding. “Itu aku dan bapakmu. Ia lelaki baik-baik. Bukan penjahat.”

Bahar tak lagi bertanya. Ia meninggalkan ibunya mematung di bawah tiang jemuran. Dada perempuan itu rengkah. Entah sampai kapan hatinya sanggup menyimpan rahasia. Lidahnya membatu setiap kali ingin menceritakan semuanya kepada Bahar.

Semula Mar mengira jawaban yang ia berikan siang itu akan memungkasi persoalan, namun esok paginya, Bahar kembali pulang lebih awal dan membawa luka lebam di bawah mata. Ketika Mar bertanya, anak itu mengaku baru saja mematahkan batang hidung teman sebangkunya.

“Mereka boleh menghinaku. Tapi jangan sesekali menghina bapakku, ucap Bahar geram.

Sejak hari itu, Bahar menjadi liar dan gemar berkelahi. Tak sekali dua kali Mar dipanggil guru. Tak jarang pula perempuan itu dilabrak orang tua yang anaknya babak belur dipukuli Bahar. Namun Mar tak pernah menjawab dan tak pula membela. Sikap yang akhirnya membuat Bahar kembali bertanya-tanya.

“Mengapa Emak tak pernah membela bapak?”

“Untuk apa? Mereka tak tahu apa-apa.”
Mendengar itu Bahar tersadar, tidak ada yang bisa membela bapaknya kecuali dirinya sendiri. Lantaran itu pula ia menolak ketika Mar membujuknya kembali ke sekolah. Bahar lebih memilih belajar kuntau pada Cik Amat, seorang pendekar tua di kampungnya.

Hanya butuh waktu tiga tahun bagi Bahar mengkhatamkan semua jurus yang diberikan Cik Amat. Tiga tahun yang mengubah dirinya dari bocah kerempeng, menjadi jago kuntau yang disegani.
Menginjak usia enambelas, Bahar mengajak teman-temannya sesama putus sekolah untuk bergabung dengan kelompok berandalan yang ia namai Gelang Akar. Nama itu terilhami dari kisah yang disenaraikan Cik Amat, bahwa belasan tahun yang lalu, nama itu dipakai segerombolan begal budiman. Mereka kerap membagi-bagi hasil rampokan kepada orang miskin di kampung-kampung.

"Tapi kini, tak ada yang tahu nasib gerombolan itu. Mereka mungkin telah mati ditembak polisi," kata Cik Amat memungkasi kisahnya pada Bahar.
***

Dari sekian puluh aksi yang dipimpinnya, baru kali ini Bahar dipaksa turun tangan. Laki-laki itu berhasil menumbangkan tiga temannya dalam satu pertarungan. Bahar tersadar, ia dalam masalah besar sekarang. Sopir truk yang dihadapinya kali ini, bukan sopir truk sembarangan. Bahar mengacungkan pistol, bermaksud menyudahi perkelahian. Namun pistol itu, entah mengapa, tiba-tiba tak mau bersuara. Pistol di tangannya seolah menjelma menjadi besi tua yang tak berguna.

Laki-laki itu menyeringai sambil menunjuk pistol di tangan Bahar dengan tatapan menghina. “Benda itu hanya cocok untuk perempuan.”

Bahar mendengus. Dibantingnya pistol itu ke aspal. “Kalau begitu, ajari aku berkelahi secara jantan!” serunya sembari meloloskan golok yang tergantung di pinggang.

Desing logam menggema di udara. Laki-laki itu menahan napas. Golok melesat di atas kepalanya. Dengan sigap, ia menarik tubuh ke belakang, namun terlambat. Ujung golok itu menggores pipinya. Bibir laki-laki itu bergetar, bukan oleh rasa sakit, melainkan oleh amarah. Dengan gerakan memutar, ia menendang dada Bahar. Bahar melompat mundur. Laki-laki itu mencabut sebilah belati.

Jual beli jurus berlangsung di atas jalan yang sepi. Golok dan belati saling silang mencari maut. Meski pertarungan telah berlangsung bermenit-menit, namun di antara mereka belum ada yang menyerah. Bahar mengeluarkan semua jurus kuntau yang ia miliki, namun laki-laki itu masih tetap berdiri.

“Aku akan mengadu nyawa denganmu!” teriak Bahar kalap dan merasa sedang dipermainkan. Laki-laki setengah baya itu tersenyum mencela. Namun ia tak bisa menutupi sirat lelah di wajahnya. Pertarungan itu telah menguras separuh tenaganya.

Untuk sementara laki-laki itu masih sigap mengelak, namun lama kelamaan ia terdesak juga. Hingga pada satu titik, Bahar menemukan satu celah. Kepalan tangannya berhasil mendarat di pelipis, disusul tendangan ke tulang rusuk. Sabetan golok menyilang tajam, merobek urat besar di pangkal leher. Laki-laki itu mengeluh pendek, lantas tumbang di atas genangan darahnya sendiri.

Belum pernah Bahar bertemu musuh segigih ini. Lawan paling tangguh yang pernah ia hadapi. Ia menghampiri mayat itu, lalu memungut selembar foto yang tercecer di atas aspal. Dua wajah yang tak asing di foto itu membuat tubuhnya bergetar, memicu raung panjang dari mulutnya. Bahar jatuh berlutut, meratap rindu pada bapaknya dan menghiba meminta ampun pada emaknya. (*)

* Sodaco, sebutan masyarakat kota Medan untuk angkutan kota.

Rabu, 11 Juli 2018

Jeruji, dimuat di Harian Rakyat Sultra, edisi 22 Juni 2018

Aku sebentar lagi jadi hantu, hantu yang menyaru bersama angin malam yang diam-diam menyusup di sela jeruji berkarat ini. Aku kesepian dan hanya berteman gemeritik kaki tikus yang berlarian di atas plafon. Entah, sudah berapa manusia yang menunggu mati dan kesia-sian di ruangan ini. Menanti maut menjemput dalam detik-detik yang terasa begitu lama.

Angin  menggidikan kembali berembus semilir, merabai tiap jengkal tubuhku yang berbalut selimut usang berlubang-lubang. Ah, aku ingat dulu, angin pun berembus semilir seperti ini. Di pematang sawah aku menikmati desir angin yang menyejukan pori-pori. Gunung Mekongga menjulang kebiruan di kejauhan. Begitu damai dan begitu syahdu suasana itu. Namun suasana damai itu jauh berbeda dengan rasa yang ada di hatiku.

Aku ingin mengubah nasib!” jeritku kala itu.

Aku pilu menatap tubuh tua yang lengkung dan berkecipak dengan lumpur itu. Didera hujan panas demi menghidupiku. Aku capek bernapas dalam ikatan kuat tali-temali kesengsaraan dan terkotak-kotak dalam kemiskinan. Terhina dan selalu dipandang sebelah mata.

“Mak tak melarangmu, Nak. Mak masih sanggup jika hanya untuk makan kita berdua,” ucap Mak menggoyah tekadku kala itu. Kamu bisa minta pekerjaan pada Pak Linto jika hanya ingin membantu Mak. Kemarin dia menemui Mak di sawah."

Aku tersentak. Kutoleh cepat wajah yang sedang meniup tungku api itu. Wajah  keriput yang berselemong jelaga dari tungku yang ditiupnya sekuat tenaga.

“Buat apa dia menemui Mak? tanyaku menyelidik.

Aku punya firasat tak enak. Batinku berkata, ini pasti tak jauh dari niat mesum terselubung. Aku sudah bisa menangkap itu dari tatapan lelaki tua itu. Tatapan mata yang seolah ingin menelanjangi tubuhku. Lelaki tua yang punya setengah lusin bini, namun selalu mencari kehangatan pada gadis-gadis muda di desa Lambakara.

“Dia berkata ingin mempekerjakanmu di rumahnya. Tapi itu juga kalau kamu mau."

Dasar tak tahu diri!” umpatku dalam hati.

Aku mendengus. Benci menyeruak dalam hatiku, menggeliat dan keluar dari batang tenggorokanku menjadi hardikan. “Pak Linto manusia bejat itu, Mak? Huh! Dia berpura-pura menawarkan kebaikan, tapi setelah itu kita harus membayar dengan apa yang kita punya. Aku tak sudi bekerja pada orang seperti itu!”

“Tapi, Nak. Mungkin hanya dengan itu hutang mendiang bapakmu bisa dianggap lunas,” Mak menatapku tajam,mungkin hanya dengan itu pula kita bisa mengambil sawah kita yang telah tergadai kepadanya.”

Aku terdiam. Pernyataan Mak menohok ulu hatiku. Membuatku lemah seketika. Yah, semua memang salahku. Akulah penyebab tergadainya sawah itu pada Pak Linto. Demi sekolahku, Bapak menggadaikan sawah itu. Jika saat ini Mak mengatakan hal itu, tentu saja tak salah, karena mungkin dalam benak Mak cara itulah yang bisa membuatnya terbebas dari jerat piutang pada Pak Linto. Tapi aku tidak, aku masih punya cara lain.

“Kita masih ada cara yang lain, Mak. Cara yang tadi aku sampaikan kepada Mak. Aku yakin aku mampu mengubah nasib kita. Mak harus percaya padaku.“ Aku berusaha merongrong rasa percaya Mak agar keinginanku bisa mendapat restu. Kutatap raut wajah renta itu dan berharap akan meluncur kata-kata yang akan mengamini permintaanku. Permintaan yang entah sudah keberapa kalinya kuucapkan.

Mak menghela napas dan memandangku, “Baiklah, jika itu maumu. Mak tak bisa menahanmu, Mak hanya berharap itu keputusan yang terbaik untukmu.” Pedih dan lirih suara Mak. Kalimat itu menyudahi penantianku. Tersirat ketidakrelaan di pelupuk mata keruhnya. Tapi tekadku mengalahkan semuanya. Aku harus bisa membuat  kemalangan ini menjadi kebahagiaan.

Ini demi Mak," bisik hatiku berpuluh-puluh kali.

“Hati-hati di sana, Nak. Mak hanya bisa berdoa. Semoga kamu selalu dalam lindungan-Nya,” ucap Mak tersedu-sedu.

Di hari perpisahan itu, Mak menangis seraya memelukku erat sekali. Kubalas pelukan Mak. Tak kuasa kutahan air mataku. Tak kuasa pula aku berucap. Entah ke mana perginya gelora semangat ketabahanku selama ini. Entahlah, saat itu aku merasa benar-benar rapuh. Rapuh dalam dekapan Mak yang menangisi kepergianku. Dekapan dan tangisan yang terakhir kalinya untukku.

Sebulan di karantina, aku akhirnya diberangkatkan juga. Petugas PJTKI yang mengirimku mengatakan, aku akan bekerja di Arab Saudi, menjadi Pembantu Rumah Tangga, katanya. Aku bersorak bahagia. Buliran air mata menetes di pelupuk mataku seiring pesawat tinggal landas meninggalkan tanah air. Saat itu aku cuma ingat wajah Mak, wajah renta yang akan kutinggalkan di bumi Kendari, bumi Kota Lulo yang kucintai.

Hari itu kujejakan kakiku di beranda rumah megah itu. Aku sama sekali tak merasa kesulitan beradaptasi dengan iklim Arab saudi yang menyengat. Segala urusan rumah tangga kukerjakan sepenuh hati. Pelatihan selama di karantina sangat berguna. Sama sekali tak ada yang tak wajar kala itu. Hari-hari kulalui dengan bekerja dan bekerja. Hubungan dengan majikan pun kurasa berjalan biasa saja. Hingga malam petaka itu pun mengubah segalanya.

“Tuan Mahmud. Apa yang tuan lakukan?”
Aku terkejut. Aku menjerit sekuat-kuatnya. Aku tak tahu sejak kapan Tuan Mahmud ada dalam kamarku. Tubuhnya yang tinggi besar itu menindihku. Aku meronta, memukul, menendang. Tapi, semua itu tak melonggarkan cekalannya pada tanganku. Sebuah tamparan keras membuat pandanganku berkunang-kunang. Dengan sisa tenaga aku masih mencoba melawannya.

“Ya Allah, tolong aku...,“ lirihku tak berdaya.

Tak ada lagi pemberontakan. Aku lemah, tenaga perlawananku habis sudah. Masih sempat kurasakan jahanam itu merobek-robek pakaianku. Dalam ketidak berdayaan itu, masih dapat kudengar deru napas binatangnya menjelajahi lekuk tubuhku. Hingga rasa sakit yang tak terperi itu akhirnya menerbangkan kesadaranku. Hening, pekat, senyap seperti mati. Andai saja aku mati, mungkin lebih mudah bagiku ketika itu.
Pagi harinya, aku terjaga. Remuk redam sekujur tubuhku. Bilur-bilur lebam penuh menyeluruh. Rasa perih di selangkanganku membuatku menangis sejadi-jadinya. Bercak darah tercecer di sprei ranjang. Darah kehormatan yang direnggut paksa oleh kebiadaban nafsu iblis yang durjana. Pemerkosaan malam itu telah membantai habis mimpi-mimpiku.

“Mak ... ” Sepatah kata itu saja yang mampu terucap. Selebihnya hanya isakan-isakan tiada arti. Rupanya impian dan keinginan memang tak selalu berakhir sesuai dengan harapan. Tak ada lagi rencana-rencana indah yang menggelayuti kelopak mataku. Tak ada lagi mimpi-mimpi indah tentang aku dan Mak. Sekarang semuanya berubah, yang ada hanya dera siksa jiwa dan raga. Aku terkurung seperti binatang hina dalam kegelapan rasa takut dan ancaman. Aku menjadi budak nafsu dari manusia bejat bersyahwat iblis.
***

Aku tertawa. Gelombang suaraku memantul menyeramkan di lorong angker tembok berjeruji ini. Tawa yang persis suara setan yang sebentar lagi akan  menjadi sahabat karibku. Aku menertawakan nasibku. Menertawakan azab yang menimpaku. Entahlah, mungkin sekarang aku gila. Gila, karena pasrahku pada kezaliman yang menimbuniku seolah aku sang pendosa besar yang tak layak diperhatikan.

“Pernahkah kalian renungkan alasanku?”

“Pernahkah kalian rasakan sakitnya diperkosa kemanusiaanmu?”

“Pernahkah kalian tahu betapa mulia impianku?”

“Pernahkah kalian tahu semua itu?”

"Pernahkah?"

“Memang, kalian tak akan pernah tahu!"

“Kalian hanya segumpal daging hina yang tak akan pernah tahu apa itu derita!"

“Kalian hanya dapat tertawa!"

"Kalian tersenyum saat menyematkan kata istimewa bahwa kami adalah pahlawan Devisa!"

“Namun kalian lupa jika kami teraniaya, diperkosa, disetrika, dilecut, diinjak-injak hanya demi dua kata: Hidup layak.”

“Kalian melengos membuang muka!"

“Cuma kata-kata keprihatinan!"

“Cuma ucapan bela sungkawa!"

“Cuma uang kerohiman yang jumlahnya tak seberapa!"

“Katanya untuk biaya pemakaman. Menjamu tamu yang datang untuk tahlilan dan yassinan!"

“Namun, tak pernah ada bentuk nyata untuk memperjuangkan hak-hak para pengisi lumbung devisa yang kerap kalian curi itu!"

"Kalian lebih biadab dari para bangsat yang membunuhi hak-hak kami!"

Betapa terang dalam ingatanku pada malam terkutuk yang terakhir itu. Telah kusiapkan pisau dapur sangat tajam. Pisau yang telah kuasah sepenuh hati. Pisau yang kutaruh rapi di bawah bantalku. Niatku sudah bulat, Tuan Mahmud harus mati.

Kutunggu dengan perasaan mencekam. Daun pintu kamarku berderit, sama seperti malam-malam sebelumnya. Sosok iblis itu datang lagi. Kupejamkan mataku rapat-rapat, kuselipkan tanganku di bawah bantal, kugenggam erat pisau dapur itu seolah pisau itu malaikat pelindungku.

Aku mulai merasakan tangan laknat itu menyusuri betis dan pahaku. Seperti malam-malam terkutuk sebelumnya. Aku tetap membeku, tak bereaksi. Tak lama tubuh pun dibaliknya. Perlahan dia mulai menaiki tubuhku. Saat itulah kuayunkan secepat kilat pisau yang sedari tadi ada di genggamanku.

Pisau tajam itu menancap tepat di lehernya. Teriakan tertahan menggema di malam buta. Semburan darah keluar dari kulit lehernya yang robek menganga. Kutendang sekuat-kuatnya tubuh manusia durjana itu. Terguling dan rebah dia di sampingku.

Seringai kematian di wajah itu membuatku bahagia. Kuludahi wajahnya yang tengah meregang nyawa, lalu kugorok batang kehidupannya. Bersama bau anyir dan genangan darah di sela-sela jemariku. Aku mendengar jutaan suara mencaci maki.

“Pembunuh!”

“Biadab!”

“Jananam tempatmu!”

“Betina jalang!”

"Ah! Persetan!”

Aku tak peduli, jika kini aku adalah sang binatang. Aku puas, setidaknya dengan cara itu penderitaanku berakhir. Duniaku tentu saja runtuh kala itu. Kalau saja boleh meminta, aku hanya  ingin bertemu dengan Mak. Aku ingin bersujud meminta ampun kepadanya, memeluknya, dan menyesal karena tak mendengar nasehatnya. Namun pinta manusia berdosa sepertiku mana ada pengabulannya? Aku benar-benar terlunta menunggu mati di negeri ini.

Aku orang yang terbuang. Tiap menit, tiap detik hanya Mak yang ada di benakku. Siapa yang akan menemani tidur Mak? Siapa yang akan menyelimuti Mak di malam dingin yang menggigit? Sanggupkah Mak hidup sebatang kara tanpa aku?  Tahukah Mak, jika sekarang tak akan ada lagi aku, Mak?
Aku yang selalu setia mengantar makanan untuk Mak di sawah kita yang cuma sepetak. Aku yang senang bersenandung sambil menampi bulir padi yang baru dituai. Aku yang selalu memijat punggung Mak sampai Mak tertidur lelap. Namun, kini tak akan ada lagi aku, Mak, tak akan ada lagi, karena beberapa jam lagi aku akan di hukum mati. (*)