Selasa, 08 Mei 2018

Gasiang Tengkurak Engku Kajang. Dimuat di Haluan Padang edisi Minggu, 22 April '18

Mula-mula tak ada yang mengira jika lelaki tua di lepau nasi Mak Banun itulah yang akan menyudahi kejahatan Engku Kajang. Orang-orang berpikir ia hanya musafir yang kebetulan lewat dan hendak berteduh karena hujan turun sedemikian derasnya di kampung Lubuk Pakam. Kulitnya coklat tua. Rambut kelabunya menjuntai menutupi kuduk. Gamis putih dan sebatang tongkat hitam di tangannya seakan menjelaskan bahwa ia bukan lelaki biasa.

Tuk Sofyan, suami Mak Banun, menghampirinya. Ia ingin tahu siapa gerangan lelaki dengan janggut putih serupa kapas itu dan apa pula keperluannya datang ke kampung Lubuk Pakam. Ramah ia bertanya nama dan asalnya, tapi dengan suara parau, lelaki asing itu memberikan jawaban yang membuat Tuk Sofyan dan juga pengunjung lainnya tercengang-cengang.

“Aku adalah Siak Ali Jemenang. Aku datang untuk bertemu Engku Kajang.”

Tuk Sofyan tersenyum kecut. Entah mencela, entah merasa jerih. Bagi orang-orang di kampung Lubuk Pakam, nama Siak Ali Jemenang adalah legenda. Ia dipercaya sebagai leluhur yang mendirikan kampung itu pertama kali. Makamnya yang dikeramatkan, hanya berjarak seratus meter dari lepau nasi Mak Banun. Setiap tahun, dalam acara kenduri kampung, orang-orang menziarahi dan membersihkan makam itu sebagai laku penghormatan atas jasa-jasanya.

Mengingat riwayat yang melekat pada diri Siak Ali Jemenang, tak heran jika kehadirannya di siang hari begitu rupa membuat merinding orang-orang. Mereka disergap perasaan ganjil. Semula mereka tak ingin percaya ucapan-ucapannya, namun lelaki tua itu tahu banyak tentang riwayat kampung Lubuk Pakam, padahal tak pernah sekalipun ia terlihat sebelumnya.

“Gasiang itu sudah banyak makan darah. Oleh sebab itu, ia harus dihentikan,” tukas lelaki tua itu tiba-tiba, seolah mampu membaca isi kepala Tuk Sofyan dan orang-orang yang memandangi wajahnya.

“Sudah banyak yang mencoba, tapi semuanya sia-sia.” jawab Tuk Sofyan dengan bibir gemetar.

Mata kelabu lelaki tua itu menusuk tajam mata Tuk Sofyan. “Malam ini ajalnya akan tiba. Di puncak Bukit Guntung, aku akan menghukumnya. Apabila dibiarkan, ia akan semakin banyak meminta nyawa. Apa kau lupa, Sofyan? Bapakmu adalah korban ke sekian Engku Kajang.”

Tuk Sofyan terkesiap. Kata-kata lelaki tua itu menampar ingatannya, membawanya terbang ke masa lalu. Ia teringat kala bapaknya ditemukan mati misterius di surau kampung pada suatu subuh. Dari para tetangganya ia mendengar bisik-bisik, bahwa bapaknya mati lantaran coba-coba menghentikan kejahatan Engku Kajang. Sebagai guru ngaji dan datuk di surau, bapaknya memang paling lantang menentang praktik sesat Engku Kajang.

“Engku Kajang sudah sepenuhnya dikuasai iblis. Kalian tak akan mampu menghentikannya. Hanya aku yang mampu. Malam nanti akan kusudahi semuanya. Aku peringatkan kalian semua, jangan sesekali menduakan Tuhan. Jangan pula ulangi kesalahan Engku Kajang yang menggadaikan hidupnya di tangan setan.”

Kata-kata itu mengguyurkan hawa mencekam di lepau nasi Mak Banun. Para pengunjung semuanya terdiam. Tak ada yang berani buka suara. Hujan turun semakin deras ketika lelaki asing itu beranjak. Orang-orang menatapnya terkesima. Meski hujan turun demikian deras, namun tubuhnya tidak basah sedikitpun. Jangankan basah, setitik pun tidak ada hujan yang mampu mengenai sehelai rambut di kepalanya.

***

Puluhan tahun silam, tiada yang paling diinginkan Engku Kajang selain menjadi dukun paling sakti di kampung Lubuk Pakam. Ia menyepi di goa Seminung selama 40 hari 40 malam demi memperdalam ilmu Gasiang Tangkurak yang selama ini dipelajarinya dari serat lontar peninggalan kakek buyutnya. Pada malam ke 40, dalam kondisi hampir mati lantaran kurang makan, Engku Kajang mendengar sebuah bisikan.

"Kau hanya bisa mencapai taraf tertinggi apabila benda mustika itu kaubuat dari tulang kepala, tapi kepala bukan sembarang kepala, kau mesti membuatnya dari tulang kepala anak kandungmu," demikianlah bisikan itu bergema dan menyudahi tapa Engku Kajang.

Maka pada suatu malam, dengan hati yang sudah hitam sempurna, Engku Kajang mengorbankan Marsalim, anak satu-satunya dari buah perkawinannya dengan mendiang Mak Rubayat. Engku Kajang memancung kepala bocah malang itu tanpa keraguan.
Hujan badai dan denyar petir yang merobek kegelapan malam itu, mengiringi ritual mistis Engku Kajang. Setelah kulit kepala anaknya terkelupas seluruhnya, ia mengorek bagian keningnya selebar jempol kaki. Ia membuat dua lubang serupa kancing di bagian tengah, kemudian dua lubang itu dijejalinya dengan benang tujuh warna yang telah dilumuri darah segar ayam hitam. Gelegar guntur meletup dahsyat ketika dari arah jendela, sinar tujuh warna muncul dan merasuki tubuh kurus Engku Kajang.

Sejak malam itu, terwujudlah keinginan Engku Kajang menjadi dukun sakti tiada tanding di kampung Lubuk Pakam. Berpuluh tahun kemudian, tiada satu orang pun yang tak gentar apabila mendengar namanya disebutkan. Tarikh kemasyurannya sedemikian menakutkan, dituturkan dari mulut ke mulut, dan menjadi kepercayaan yang mendarah daging bagi orang-orang di kampung Lubuk Pakam, bahwa apabila terjadi kematian yang tak wajar di kampung itu, maka pelakunya pastilah Engku Kajang.
Sudah menjadi rahasia umum apabila sinar tujuh warna itu muncul, maka keesokan harinya pasti ada yang akan mati. Pada siang hari sebelum sinar itu muncul, seseorang telah mendatangi kediaman Engku Kajang. Tiada niat yang mereka bawa kecuali niat jahat untuk menyingkirkan lawan dengan bantuan ilmu hitam Engku Kajang.

Apabila kesepakatan dan syarat-syarat telah dilunasi, maka Engku Kajang akan mengirim Gasiang Tangkurak untuk menuntaskan pekerjaannya. Bunyi berdesing benda itu mengerikan. Orang-orang yang terbilang paling berani berhadapan dengan hantu Siampa atau palasik sekalipun akan bersembunyi jika melihat benda gaib itu terbang di kegelapan malam. Ketimbang berjibaku langsung menghadangnya atau mengantar nyawa cuma-cuma, mereka lebih memilih menghindar atau mendiamkannya.

Selama hidupnya, konon sudah tak terbilang berapa jumlah korban Engku Kajang. Lelaki yang jarang menampakkan diri di tengah keramaian itu tak pandang bulu menghabisi korban-korbannya. Mereka berasal dari beragam latar belakang. Ada pejabat, ada saudagar, ada pemuka agama dan ada pula dari kalangan orang biasa. Namun pada akhirnya, sehebat-hebatnya ilmu hitam, tetap saja ada titik takluknya. Seperti nasihat tua, bahwa di atas langit, masih ada langit, begitulah akhir kemasyuran Engku Kajang.

***

Orang-orang kampung Lubuk Pakam telah berkumpul di lereng bukit Guntung. Mereka ingin melihat petarungan gaib antara Engku Kajang dengan lelaki renta yang tadi siang singgah di lepau nasi Mak Banun. Mereka seakan digiring oleh rasa penasaran yang sama; akankah lelaki tua itu bernasib sama seperti para korban sebelumnya, mati ditebas Gasiang Tangkurak Engku Kajang?

Hening yang ganjil merayapi bukit Guntung. Tak ada kesiur angin. Tak ada suara binatang. Namun di balik semak ilalang dan di dahan-dahan pohon saga, orang-orang menanti dengan dada bergemuruh. Di depan sana, lelaki renta yang mendaku dirinya sebagai Siak Ali Jemenang itu berdiri gagah. Kakinya merenggang dan di tangan kanannya terpancang sebatang tongkat hitam.
Keheningan yang semakin ganjil itu serta merta pecah ketika seberkas sinar tujuh warna melesat dari arah lereng bukit. Sinar itu menukik tajam sejarak sepuluh depa di hadapan Siak Ali Jemenang. Sinar itu secara perlahan membentuk satu sosok lelaki bertubuh tinggi, dengan pakaian serba hitam dan berikat kepala merah. Orang-orang langsung bisa mengenalinya, itulah sosok menyeramkan Engku Kajang.

“Kelancanganmu mencampuri urusanku akan kau bayar dengan nyawa!”

“Manusia takabur! Dosa dan kejahatanmu sudah lewat takaran!” bentak Siak Ali Jemenang sambil menudingkan tongkatnya lurus ke arah dahi Engku Kajang. Lelaki kurus jangkung itu hanya mendengus.

Mendadak udara menjadi sangat dingin. Angin deras muncul entah dari mana. Semak ilalang dan pohon-pohon saga yang mengelilingi tanah lapang itu berdesir dan berderak-derak. Orang-orang berloncatan dari atasnya, sebab takut pohon itu akan tercerabut dari akarnya. Mereka lalu berkumpul di rerimbun semak ilalang, sebagian lagi berlari pulang ketakutan.

Tubuh Engku Kajang kembali menjadi sinar tujuh warna, sedang tubuh Siak Ali Jemenang memancarkan sinar putih keperakan. Sinar tujuh warna itu bergasing bagai titiran. Membelit dan menusuk-nusuk tanpa henti. Suaranya berdesing-desing tajam, menyambar ganas ke arah tubuh Siak Ali Jemenang. Namun lelaki tua itu bergeming. Sekujur tubuhnya bagai diselubungi pelindung tak kasat mata. Sinar jelmaan Engku Kajang tak sekalipun mampu menyentuhnya.

Beberapa lama sinar tujuh warna itu melayang-layang, sampai kemudian dengan gerakan yang tak masuk akal, Siak Ali Jemenang melompat ke udara. Saat kedua kakinya menjejak tanah, sinar tujuh warna itu sudah berada di genggamannya. Terdengar derak bunyi benda remuk diremas disusul suara jeritan parau mengerikan Engku Kajang. Dari sela jemari Siak Ali Jemenang, sinar tujuh warna tadi perlahan padam.

Dari arah kampung Lubuk Pakam terdengar ledakan keras. Asap kelabu bergumpal-gumpal. Api raksasa menjilati langit malam. Asap dan api mengerikan itu berasal dari rumah Engku Kajang. Di tanah lapang, tubuh lelaki yang menjadi sumber segala ketakutan di kampung Lubuk Pakam itu terkapar diam, sedangkan lelaki tua yang mendaku dirinya Siak Ali Jemenang telah raib dari pandangan. (*)

1 komentar: