Minggu, 22 April 2018

Perkutut Keberuntungan. (Solopos, Minggu, 22 April '18)

Entah milik siapa perkutut yang terbang kesasar di pagi itu, tampak jinak dan masuk begitu saja saat Ucok membuka jendela. Ia membelai-belai kuduk burung itu dengan lembut,  lalu dimasukkannya ke sangkar murai batu miliknya yang mati beberapa minggu lalu. Menjelang tengah hari, Maryamah datang membawa serantang nasi. Di sangkarnya, burung itu berkicau nyaring, seolah memberi sambutan hangat pada Maryamah.

“Abang dapat dari mana burung itu?” tanya Maryamah ketika mendapati sangkar burung tergantung lagi di bawah atap beranda setelah lama tak kelihatan.

“Tadi pagi burung ini masuk ke ruang tamu,” jawab Ucok sambil menjentik-jentikkan jarinya ke arah sangkar, memancing perkutut itu untuk berkicau. Burung itu mendengkur sambil menjinjit-jinjitkan bulu ekornya. Ucok tertawa senang melihat polahnya.

“Kenapa tak kaulepaskan saja?”

Ucok menggeleng, lalu duduk di bale bambu yang melintang di beranda. “Suaranya bagus, sayang kalau kulepas.”

“Sudah, makanlah dulu, Bang. Tadi aku masak lodeh labu siam kesukaanmu,” ucap Maryamah tak lagi menanggapi soal perkutut. “Aku mampir tak akan lama.”

“Mau ke mana?” tanya Ucok sambil membuka rantang dan menciduk nasi dari dalamnya.

“Menemui Hamidah.”

“Sampaikan salamku untuknya, ya,” kata Ucok tersenyum merona.

“Beres,” jawab Maryamah sambil tertawa. Usai berbincang-bincang sejenak, perempuan muda itu bertolak dari beranda, meninggalkan Ucok melahap makan siangnya sendirian. Perkutut berbunyi nyaring, seiring angin sepoi menggoyang lembut sangkar barunya.

Memang, sejak menikah, setiap tengah hari Maryamah mengantar rantang nasi untuk Ucok. Iba dia pada abangnya itu, tersebab sudah hampir kepala empat, belum juga sampai jodohnya. Di rumah panggung peninggalan orang tua mereka itu Ucok tinggal seorang diri. Lantaran cemas kalau Ucok tak masak, Maryamah pun rutin mengantar masakan untuknya.

Sudah banyak yang dikorbankan Ucok untuk Maryamah, termasuk mengorbankan dirinya sendiri: melajang sampai tua. Maryamah masih umur lima tahun saat orangtua mereka berpulang karena kecelakaan saat hendak menghadiri kenduri pernikahan kerabat di desa tetangga. Ucok yang ketika itu baru tamat kuliah, memutuskan mengurus kebun kelapa peninggalan orangtuanya. Dengan sekuat tenaga dia merawat Maryamah seorang diri dan tak mau membebani sanak-kerabatnya.

Sekarang, pengorbanan itu tidaklah sia-sia. Selepas menamatkan kuliah dan menjadi guru, Maryamah menikah dengan Nasution, dan sekarang tinggallah Ucok berkonsentrasi memikirkan keberlangsungan hidupnya sendiri. Target yang dirancangnya adalah menikah. Namun, masalahnya calonnya belum ada dan andai pun ada, biayanya belum pula memadai. Kegelisahan itu rupanya terbaca oleh Maryamah, atas inisiatifnya pula, dia mencoba menjodohkan Ucok dengan Hamidah, teman sesama gurunya, namun usianya tak berjauhan dengan Ucok. Boleh dikata, Hamidah juga seorang perawan tua.

Sebenarnya, sudah cukup lama pula Ucok menaruh hati pada Hamidah, tapi dia tak berani terang-terangan mengungkapkannya. Maryamah yang paham niat abangnya itu, tentu saja mendukung apabila Ucok mau mempersunting Hamidah. Selebihnya, tanpa Ucok tahu, Maryamahlah yang bekerja diam-diam menjajaki kemungkinan menjodohkan abangnya dengan Hamidah.
***

Kabin mobil pick up milik Herman sudah penuh dengan butir kelapa yang baru saja dipanen. Sambil beristirahat, Ucok dan Herman berbincang-bincang di beranda sambil menikmati kopi dan kretek. Tengah asik berbincang soal harga kopra, tiba-tiba perkutut Ucok berkicau nyaring dan membuat Herman terdiam dengan wajah terpukau.

“Burungmu itu dapat dari mana, Cok? Bagaimana kalau kau jual saja padaku?” Herman menjentik-jentikkan jarinya ke arah sangkar perkutut. Burung itu menjinjit ekornya dan meloncat-loncat lincah.

“Aku mendapat burung itu lewat mimpi,” kata Ucok dengan mimik wajah berpura-pura serius. Tentu saja cerita itu karangannya belaka, agar Herman makin terpesona pada perkututnya.
Herman memang penyuka burung, sebagai tauke kopra yang punya uang lebih untuk memuaskan hobinya, Herman mengkoleksi beragam jenis burung pekicau mahal. Setahu Ucok,  di antara kebanyakan burung pekicau, perkutut biasanya hanya dianggap burung pekicau biasa. Tidak ada yang istimewa. Ucok sedikit heran, apa sebenarnya yang dilihat Herman dari perkutut itu hingga ingin membelinya.

“Sudah, kau jual sajalah padaku. Berapa kau minta harga?” tanya Herman sekali lagi.

Ucok tertawa lepas, merasa jeratnya mengena. “Tak akan kujual. Ingin kupelihara sendiri saja.”

Herman mendengus kecewa mendengar jawaban Ucok. Menurutnya, perkutut itu bukan perkutut sembarangan. Dijelaskannya pada Ucok bagaimana istimewanya burung itu.

“Ini Perkutut Putih yang sudah lama kucari, Cok,” kata Herman serius. “Burung ini burung langka, banyak gunanya untukku. Salah satunya penolak bala dan lancar usaha.”

Ucok mengangguk-angguk, menyimak penjelasan Herman. Dia pernah mendengar tentang kepercayaan orang Jawa seperti yang disampaikan Herman, tapi Ucok tak percaya pada hal-hal seperti itu. Baginya, burung itu tak lebih dari burung biasa, yang kesasar masuk rumahnya. Sebenarnya, jika diminta pun, Ucok bisa saja memberikannya cuma-cuma, tapi melihat keseriusan minat Herman pada burung itu, timbullah niatnya untuk mematok harga.

“Kau serius ingin membelinya?” tanya Ucok setengah enggan untuk percaya. Semula dikiranya candaan tadi tak akan begitu serius ditanggapi Herman. Sudah kadung bersandiwara, lantas diteruskannya saja bualannya.

“Apa aku ini kelihatannya sedang bercanda?” tanya Herman sedikit sebal.
Ucok tertawa. Betul juga sanggahan itu, selama Ucok mengenal Herman, lelaki itu jarang betul berkelakar. Jadi, mendengar ucapannya tadi, dan mengingat kepribadiannya selama ini, tak ada celah bagi Ucok untuk meragukan ucapan Herman.

“Bukan begitu maksudku,” sanggah Ucok berpura-pura tak enak hati. Diseruputnya kopi di gelas sedikit, kemudian lanjut bicara, “aku sayang betul dengan perkutut itu. Terlebih usai mendengar penjelasanmu tadi. Aku merasa, sepertinya burung itu memang berjodoh dengan diriku, Man.”

Terbit rasa sungkan di wajah Herman mendengar pengakuan Ucok, namun tak cukup kuat untuk menepis rasa inginnya pada perkutut itu. Di dalam sangkarnya, burung itu berkicau lagi, lalu mematuk-matuk butir jewawut di wadah makannya. Herman mendesah kecewa, dirayunya kembali Ucok dengan sedikit nada menghiba.

“Ayolah, Cok,” bujuk Herman. “Tak akan murah aku menghargainya. Aku butuh betul burung ini. Sudah lama sekali aku mencari perkutut putih seperti ini.”

Giliran Ucok yang mendesah, diembusnya napas berat dan berpura berat hati menjawab tawaran Herman. “Aduh, bagaimana, ya?” kata Ucok unjuk raut bingung. Sandiwaranya betulan sempurna, hingga Herman menatapnya dengan penuh harap.

“Sebutkanlah harganya, Cok,” desak Herman tak sabaran. “Asal jangan kau minta miliaran, tak ada uangnya aku.”

“Baiklah,” kata Ucok setelah berpikir-pikir sejenak. “Burung itu kujual padamu, tapi terus terang saja, aku ingin mahal.”

“Berapa? Wajah Herman berubah gembira. “Lima belas juta, bagaimana?”

Nyaris tersedak Ucok mendengar angka yang disebutkan Herman. Tak dikiranya angka yang disebut akan segila itu. Lima belas juta bukanlah angka yang sedikit. Perlu lima atau enam kali panen agar dia bisa punya uang sebesar itu. Dalam pikirannya, Ucok berangan-angan, mungkin inilah rejekinya untuk biaya menyunting Hamidah. Seketika bungah hati Ucok, perkutut nyasar itu seolah dikirim untuk memecah persoalannya.

“Baiklah, kulepas padamu. Lima belas juta,” jawab Ucok dengan suara bergetar karena masih diliputi rasa tidak percaya.

“Tiga hari lagi, aku bawa duitnya, sekalian membayar kelapa yang hari ini kaujual,” ucap Herman serius. “Lima belas juta, ya. Jangan naik lagi. Jangan pula kaujual ke orang lain.”

Ucok mengangguk. Dalam hati dia mengucap hamdalah berpuluh-puluh kali. “Aku tunggu,” jawabnya berusaha menekan air muka senang yang mengembang di kedua sudut bibirnya. Dalam hati Ucok bersorak gembira, uang sebesar itu tentulah cukup untuk menambah biaya menikah dengan Hamidah.
***

Pucuk cinta ulam pun tiba, pada suatu siang yang tak terlalu panas, sebab hujan baru saja reda, Maryamah menyampaikan kabar gembira. Kata Maryamah, orangtua Hamidah meminta Ucok datang segera. Mereka bersedia menerima lamaran Ucok, asal Ucok langsung menikah dengan Hamidah. Jangan ditunda-tunda, katanya, dan Ucok pun bersetuju.

“Besok aku ke sana. Hari Minggu kau kan tak mengajar. Biar kau yang jaga rumah sebentar, aku takut Herman datang sementara aku ke rumah orangtua Hamidah.”

Esok paginya, selepas salat Zuhur, pergilah Ucok ke rumah Hamidah, menautkan tali niatan untuk meminang gadis itu ke orangtuanya. Bekal modal sudah tersedia, tinggal mencocokkan saja, kapan Hamidah dan keluarganya siap melangsungkan pernikahan mereka.

Bada Asar, Ucok pulang. Di sepanjang jalan, senyum lelaki itu merekah. Waktu pernikahannya dengan Hamidah telah disepakati sebulan lagi. Besar mahar yang dipinta orangtua Hamidah cukuplah ditutupi dengan uang dari pembayaran perkutut keberuntungannya.

Ketika sampai di pangkal tangga rumahnya, jantung Ucok kebat-kebit. Rasa tak enak membungkus perasaannya. Di beranda dia melihat Maryamah sedang menurunkan sangkar perkututnya. Tergopoh-gopoh Ucok menaiki tangga, untuk melihat perkutut kesayangannya.

“Perkututkuuu!” jerit Ucok pilu dan jatuh pingsan diiringi tatap kebingungan Maryamah.

Di dalam sangkarnya, perkutut itu tergeletak kaku. Maryamah mengingat-ingat apa yang membuat burung itu mati. Tadi selepas Ucok pergi ke rumah orangtua Hamidah, dia beres-beres dan menyemprotkan racun nyamuk ke dekat sangkarnya. Kemungkinan racun itu masuk ke wadah air minum dan membuat burung itu mati keracunan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar