Minggu, 26 Agustus 2018

Angku Zainal, dimuat di Republika, edisi Minggu, 26 Agustus 2018

Orang-orang kampung Lubuk Kisam menganggap kematian Angku Zainal adalah kematian yang mulia, layaknya kematian seorang syuhada. Bagaimana tidak, lelaki tua itu meninggal saat hendak menyelamatkan kitab suci di masjid yang sedang ganas dilalap api. Orang-orang tak akan bisa melupakan peristiwa menggetarkan malam itu, ketika Angku Zainal melompat ke dalam api raksasa yang berkobar dan kembali dengan sekujur tubuh penuh luka bakar.

“Beliau pasti mati syahid. Beliau berani menukar kitab suci dengan nyawanya,” begitu orang-orang memuji tindakan berani Angku Zainal.

“Ya, tak ada keraguan soal itu,” timpal suara lain berkata dengan nada penuh haru. “Angku Zainal telah mengorbankan dirinya demi agama. Semoga amal perbuatannya diganjar sorga.

Seiring waktu, riwayat Angku Zainal tak hanya semerbak di kampung Lubuk Kisam, melainkan juga sampai ke kampung-kampung tetangga. Bila ada acara maulidan atau memperingati isra miraj nabi di kampung Lubuk Kisam, tak lupa para jamaah mengirim doa untuk kesejahteraannya di alam kubur.

Sebenarnya Angku Zainal hanyalah lelaki biasa. Dari hasil perkawinannya dengan Mak Ainun, ia dikaruniai tiga orang anak. Dua sudah menikah dan hidup di perantauan, sementara yang bungsu masih menjadi tanggungan.

Di masa lalu, jauh sebelum menjadi marbot, sehari-hari Angku Zainal lebih dikenal sebagai dukun patah tulang. Kemampuan yang didapatnya secara turun-temurun itu membuat dirinya kerap didatangi para pasien dari dalam dan luar kampung Lubuk Kisam. Namun entah apa pasalnya, praktik pengobatan itu lambat laun mulai ditinggalkan orang. Orang-orang yang patah tulang, terkilir, ataupun sendi bergeser tak lagi datang ke Angku Zainal. Mereka lebih memilih datang ke puskesmas atau rumah sakit.

Banyak yang bilang, pasien-pasien Angku Zainal meninggalkannya lantaran biaya pengobatan di puskesmas atau rumah sakit telah digratiskan pemerintah. Tetapi dari desas-desus lain yang beredar, alasan sebenarnya adalah karena Angku Zainal mematok tarif di luar batas kewajaran. Hal itulah yang akhirnya membuat orang-orang segan dan sungkan meminta bantuan Angku Zainal.

Kehilangan mata pencaharian membuat Angku Zainal mulai menyibukan diri dengan menggarap sebidang lahan kosong peninggalan orangtuanya yang berada persis di samping masjid kampung Lubuk Kisam. Ia memutuskan mencabut plang petanda profesi dukun patah tulang itu dari halaman rumahnya, lalu sepenuhnya menggeluti hari-hari sebagai petani.

Di lahan yang sudah lama terbengkalai itu ia menanam beraneka-macam sayur-sayuran; bayam, wortel, kacang panjang, kangkung, dan lain-lain. Angku Zainal juga menanami lahannya dengan tumbuhan rempah; kunyit, serai, jahe, dan banyak bumbu dapur lainnya. Hasil panen kebun itu ternyata cukup untuk menutupi biaya hidup. Bahkan apabila hasilnya sedang melimpah, Mak Ainun sampai harus menjualnya ke pasar pekan.

Syahdan, tawaran menjadi marbot itu baru datang ketika Wak Hambali yang sebelumnya menjadi datuk sekaligus imam di masjid kampung Lubuk Kisam meninggal dunia. Semula terjadi silang pendapat perihal penunjukan Angku Zainal menjadi marbot. Orang-orang mencibir ilmu agamanya yang tak sebanding dengan mendiang Wak Hambali. Ada juga yamg belum bisa melupakan tabiatnya saat menjadi dukun patah tulang.

Di kepala mereka terbayang sesosok dukun kampung yang kikir dan mematok harga selangit junjung kepada para pasiennya. Namun, dikarenakan tak ada yang mau menggantikan tugas-tugas Wak Hambali, seperti mengisi bak air wudhu, membersihkan lantai masjid, menguras WC, dan lain sebagainya, maka mau tak mau mereka akhirnya bersepakat bahwa Angku Zainal-lah yang paling tepat  menggantikan posisi Wak Hambali.

Profesi itu melekat di badan Angku Zainal sampai akhir hayat dan membuat namanya harum selepas kematian. Namun, seandainya saja orang-orang kampung Lubuk Kisam mengetahui peristiwa sebelum malam nahas itu terjadi, maka hampir dapat dipastikan, luntur sudah kekaguman mereka pada kisah menggetarkan sosok alim Angku Zainal yang telanjur mereka elu-elukan.
***

Siang itu, sebuah sedan hitam masuk ke pelataran masjid kampung Lubuk Kisam. Dari dalam kendaraan mengkilat dan mewah itu keluar dua orang; satu lelaki dan satu perempuan. Mereka berdua bukan warga kampung Lubuk Kisam, sebab tak ada satu pun warga yang mempunyai mobil sebagus dan semulus itu. Paling bagus hanyalah mobil pick up milik tauke Subhan yang sering dijadikan kendaraan pengangkut buah sawit bila masa panen tiba.

Salat Zuhur baru saja selesai dan Angku Zainal sedang menyapu lantai manakala dua orang tamu tak dikenal itu menyapanya tanpa uluk salam. Sekonyong-konyong mereka mengajukan permintaan yang nyaris membuat jantung Angku Zainal mencelat dari tempatnya dan matanya melotot menatap mereka tak percaya.

“Tolong nikahkan kami, Angku. Kami saling mencintai dan tak ingin dipisahkan,” rengek si perempuan sambil bergelayut manja di lengan si lelaki.

“Hei, setelah tanpa salam dan tanpa sopan kaumasuk ke rumah Tuhan, sekarang kau mau bertingkah gila, Anak Muda?” hardik Angku Zainal sambil menudingkan gagang sapu ke muka dua orang di hadapannya.

Si lelaki langsung memegang tangan Angku Zainal, “Maafkan kelancangan kami, Angku. Kami sedang panik.”

“Apa pula pasal yang membuat panik itu?” tanya Angku Zainal dengan mata menyipit. Dan dengan gerakan tangan, ia mempersilakan kedua tamunya duduk.  Mereka bertiga pun duduk bersila di lantai masjid. Kedua orang itu tak langsung menjawab, melainkan saling pandang terlebih dahulu, seakan ragu.

“Melihat raut pucat kalian, apa kalian sedang dikejar-kejar hantu?” tanya Angku Zainal sambil meringis menahan tawa.

“Bukan, Angku.” Si perempuan angkat bicara. Kemudian dengan sedikit gemetar ia berkata, “kami sedang dikejar orang tuaku. Kami kawin lari.”

Terkekeh juga akhirnya Angku Zainal mendengar pengakuan si perempuan. Si lelaki menunduk malu-malu. Angku Zainal memandangi dua sejoli itu berganti-ganti sambil mengusap-usap jenggotnya sembari bergumam dan menggeleng-geleng.

“Kenapa tak pergi ke KUA saja?” tanyanya keheranan. “Bukannya akan lebih cepat kalau kalian pergi ke sana?”

“Sudah, Angku,” sahut si lelaki. “Tapi mereka menolak.”

“Kenapa?”

“Karena kami saudara satu ayah.”

Angku Zainal terlonjak bagai tersengat arus listrik. Wajahnya memucat saking kagetnya. Hampir saja keluar kata makian dari mulutnya seandainya saja si lelaki tidak buru-buru merogoh tas di pangkuan dan menyodorkan sesuatu ke hadapannya. Sesuatu yang disodorkan lelaki itu membuatnya terperangah.

“Kami akan memberikan ini jika Angku mau menikahkan kami.”

Lelaki muda berdagu lebar itu mengeluarkan tiga kebat uang dari dalam tas hitamnya, lalu meletakkan uang itu di pangkuan Angku Zainal. Kedua pasangan itu menatap Angku Zainal penuh permohonan. Tak bisa disembunyikan raut merah padam di wajah keriput Angku Zainal manakala menatap tumpukan uang yang seumur-umur belum pernah dilihatnya itu.

Terbayang di pelupuk mata lelaki tua itu, betapa besar jumlah uang itu. Tentunya dengan uang sebesar itu, ia bisa mewujudkan permintaan Nizar, anak bungsunya yang sering betul merengek-rengek minta dinikahkan dengan Hayati, anak gadis Angku Jakfar. Namun bayangan berat dosa yang akan menekuk batang lehernya, mau tak mau membuatnya gentar juga. Menikahkan dua orang satu ayah haram hukumnya.

Angku Zainal terdiam cukup lama. Ia berpikir dan terus bergulat dengan iblis yang membujuknya. Ia paham betul akan dosa besar itu, akan tetapi godaan uang sebesar itu, sungguh sulit dihindari. Lalu dengan setengah lunglai, ia berkata, “Baiklah,” katanya dengan bibir gemetar. “Akan kunikahkan kalian sekarang juga.”

Kedua pasangan itu tampak bimbang sesaat dan saling memandang. “Bagaimana caranya?” tanya si lelaki. “Apakah perlu mendatangkan saksi?”

“Tak perlu,” kata Angku Zainal yakin. “Cukup Allah dan malaikat-malaikat saja yang menjadi saksi.”

“Bagaimana dengan hubungan kami?” tanya si perempuan masih ragu. “Apakah berdosa bagi kami dan anak temurun kami?”

Angku Zainal menghela napas sejenak, “Tidak,” katanya yakin. “Nabi Adam pun mengawinkan anak-anaknya dengan saudara sekandung.”

“Baiklah, Angku. Kami menurut saja kehendakmu.” Si lelaki akhirnya mengangguk pasrah. “Cepatlah nikahkan kami sekarang juga.”

“Tunggulah sebentar.”

Angku Zainal berjalan ke arah mimbar dan mengambil sebuah kotak persegi. Dari dalam kotak tersebut ia mengeluarkan Al Quran dan menggantinya dengan uang yang diberikan si lelaki. Setelah itu, lantunan ayat suci--yang entah betul entah salah--meluncur dari mulutnya. Kemudian, dengan sepenuh keyakinan, dijabatnya tangan si lelaki dan bertindaklah ia selayaknya seorang penghulu yang menikahkan kedua mempelai.

Tak perlu waktu terlampau lama, prosesi itupun ditutup dengan doa. Dengan keyakinan luar biasa, Angku Zainal berkata, bahwa keduanya telah sah menjadi suami-istri. Usai berbincang-bincang sesaat, kedua pasangan yang baru saja dinikahkan itu pamit terburu-buru, meninggalkan Angku Zainal tegak membisu di langkan masjid.

Ba'da magrib, sambil bersiul-siul, Angku Zainal membakar sampah dan daun-daun kering di halaman masjid. Bungah perasaannya, tersebab masalah yang membikin kepalanya pening seharian ini, telah sirna dengan cara-cara tak terduga. Dari kejauhan Mak Ainun memanggil dan mengatakan bahwa makan malam telah tersedia.

Saat Angku Zainal bertolak meninggalkan halaman masjid, sehelai daun yang tadi dibakarnya di tempat sampah, terbang melayang dan menyusup ke lubang ventilasi. Daun itu lalu hinggap di gulungan karpet lapuk dan mulai membakar perabot masjid satu persatu. Dinding papan yang lapuk itu tak kuasa menahan jilatan api panas membara yang rakus melumat apa saja.

Malam celaka itu Angku Zainal bagai tak melihat api besar yang membumbung di atap masjid. Ia melompat ke kobarannya dan berhasil keluar dengan sekujur tubuh penuh luka. Sebuah kotak persegi di pelukannya terlihat aman tanpa ternoda. Orang-orang berkerumun ingin menolong, namun lelaki tua itu menolaknya.

Sementara orang-orang sibuk memadamkan api, Angku Zainal terus memanggil-manggil nama istrinya. Angku Zainal meminta Mak Ainun mendekat, lalu berbisik, “Simpan uang yang ada di dalam kotak ini baik-baik. Jangan kauberitahu siapa pun isinya. Pergunakan untuk menikahkan anak bungsu kita.”

Belum pula Mak Ainun menjawab permintaan itu, ruh Angku Zainal sudah terlepas dari jasadnya. Perempuan tua itu bersimpuh memangku jasad suaminya yang tak kunjung melepaskan kotak persegi itu dari dekapannya. Bibirnya terus gemetar, namun tak ada suara yang keluar. Rahasia kematian Angku Zainal tetap tersimpan di dada Mak Ainun, mungkin akan dibawanya sampai ke liang kubur. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar